Pt. 54

14K 678 140
                                    








Begitu memasuki Gedung Rifai Group, Arzha disambut oleh para pekerja, karyawan serta staff yang membungkuk hormat padanya saat ia melintasi mereka. Sambil berjalan menuju lift yang akan membawanya menuju ke ruangan kakek, ia menghela nafas berulang kali. Pasalnya gugup ini, sudah dia rasakan dari ia masih berada di mansion. Hari pertamanya menggantikan Alexander.

Begitu lift yang membawanya ke lantai duapuluh, lantai di mana terdapat ruangan Alexander berada, Arzha lagi-lagi disambut, kali ini oleh sekretaris kakek yang Arzha tahu bernama Pak Teddy. Pak Teddy tersenyum ramah padanya yang Arzha balas juga dengan menunduk sekilas seraya tersenyum tipis.

Arzha mengikuti Pak Teddy yang berjalan di depannya. Dia menunjukkan di mana ruangan kakeknya berada. Dalam hati Arzha makin berdebar karena sadar langkah kakinya hampir dekat dengan ruangan kakeknya.

Dan ketika dia dan Pak Teddy berhenti di depan ruangan kakeknya, Arzha kini kesulitan untuk sekedar menelan salivanya sendiri.

"Tuan Arzha, jika tuan ada perlu untuk ditanyakan atau..."

Ucapan Pak Teddy berhenti karena Arzha mengangkat sebelah tangannya, laki-laki itu memberi intrupsi. "Jangan pakai tuan, cukup Arzha aja," ralatnya.

Mata Pak Teddy membelalak. "E-eh, tapi kan—"

"Saya bukan kakek, pak. Terlebih usia bapak sama seperti usia ayah saya."

Awalnya Pak Teddy merasa sungkan karena bagaimana pun, meski Arzha seumur dengan anaknya, tapi tetap saja posisi Arzha adalah Keluarga Rifai, atasan sekaligus bos dan tuannya juga salah satu cucu dari Alexander Rifai. Tapi saat ia melihat sepertinya laki-laki muda ini tak mau dibantah, Pak Teddy mengangguk.

"Baik, Nak Arzha. Kalau ada apa-apa, Nak Arzha bisa hubungi saya."

Jujur, Arzha lebih suka dipanggil nak seperti tadi, dibandingkan dipanggil tuan. Dia hanya merasa, risih dan tidak enak, dipanggil dengan embel-embel tuan.

Tahu kalau Pak Teddy tak akan kembali ke ruangannya yang letaknya ada di sebrang ruangan kakeknya sebelum dirinya masuk, Arzha lebih dulu mengalah, membiarkan dirinya masuk terlebih dahulu.

Begitu pintu ruangan kakek tertutup, lagi-lagi Arzha mendesah pelan. Dia kini memijat pelan pelipisnya yang entah kenapa terasa penat. Di hari pertamanya, Arzha sama sekali tak merasa bersemangat, sungguh. Dalam lubuk hatinya, Arzha malah menginginkan dia di kampus lalu menghabiskan waktu bersama isterinya.

Tapi mau tak mau, dia harus mengemban amanat yang diberikan kakeknya yang masih terbaring sakit. Arzha tidak boleh mengecewakan kakeknya. Dia tidak boleh membuat Alexander kecewa karenanya.

Arzha melangkah ke kursi singgasana kakeknya. Sebelum duduk, dia lihat di atas meja terdapat ukiran dari kaca yang bertuliskan nama kakeknya. Tertera di sana bertuliskan, Alexander Rifai. Dalam hati Arzha merasa miris karena teringat, ambisi ayah dan bundanya adalah bisa menggantikan tulisan nama kakeknya yang tertera di sana menjadi namanya, hanya demi itu.

Ketika duduk di kursi singgasana itu, Arzha merasa merinding entah tidak tahu apa alasannya. Kursinya memang empuk dan nyaman hanya saja, Arzha tiba-tiba merasakan sensasi yang berbeda, apa hanya perasaannya saja, mungkin.

Atensi Arzha mengarah ke dua tumpuk laporan di atas meja. Lagi-lagi saat melihat itu saja, dapat membuat Arzha mendesah pelan entah untuk yang kesekian kalinya. Tugas pertamanya di hari ini adalah memeriksa laporan hasil pemantauan cabang-cabang perusahaan Rifai di berbagai sektor di seluruh Nusantara.

Belum lagi di siang harinya, ada rapat dengan para investor. Kenapa Arzha bisa tahu? Selalu hadir di perusahaan setiap kali kakek meminta mereka, membuat Arzha tahu kebiasaan kakeknya jika berada di perusahaan.

Bad Life (After) Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang