Pt. 14

19.9K 947 31
                                    

Selama perjalanan dari sekolah ke rumah, baik Atha ataupun Arzha tidak ada yang membuka suara. Mereka sama-sama terhanyut dalam hening yang sudah mereka ciptakan sendiri. Atha yang mati-matian menahan tangis, sementara Arzha dengan egonya yang selangit untuk minta maaf.

Jika biasanya laki-laki itu akan menunggu isterinya keluar dari mobil, kali ini tidak. Arzha keluar lebih dulu, lalu menyerahkan kunci mobilnya ke valet. Dia bahkan tidak menunggu Atha yang bahkan belum melepaskan sabuk pengaman.

Atha menghela nafas. Salah besar jika ia bisa ikut campur lebih banyak di kehidupannya Arzha, di dunianya laki-laki itu.

Ketika perasaannya makin membuncah, Atha sadar seharusnya dia tak bisa dan tidak boleh untuk melangit kendati statusnya sudah menjadi isteri laki-laki itu. Dalam kata artian, 'sadar diri', Athaya seharusnya tetap membumi dengan jangan terlalu berharap. Jangan terlalu menginginkan.

Jangan terlalu berharap bahwa perhatiannya yang kemarin itu adalah tanda jika Arzha juga sama seperti dirinya, yang mulai membuka hati.

Sadar diri, Atha.

Kata-kata itu menamparnya.

Sayangnya sekarang, Atha sadar diri jika dirinya bukan hanya sudah jatuh terpeleset, tapi sudah benar-benar jatuh terperosok di kubangan perasaan miliknya sendiri. Jatuh tanpa dia duga dan dia sadari, ia jatuh dengan keadaan terperangkap, di mana di atas sana ada Arzha yang bahkan tidak mengulurkan tangannya karena perasaannya yang hanya sepihak tanpa berbalas.

Ketukan kaca di sisinya membuat Atha menoleh. Ada bodyguard yang tadi mengetuk kacanya, kini menunduk hormat.

"Nona Athaya, maaf, sedang apa berlama-lama di mobil?"

Mengusap wajahnya untuk memastikan bahwa dia tak menangis, Atha kini memaksakan senyum. Dia membuka pintu, membuat bodyguard itu bergeser.

"Gak apa-apa, tadi saya cek barang saya takutnya ada yang jatuh."

Setelahnya Atha berjalan masuk ke rumah, takut bodyguard itu sadar.

Sadar dengan ekspresi wajahnya yang pasti kurang enak diihat.

Begitu dia masuk, puluhan pelayan menunduk untuk menyambutnya. Atha terdiam di tengah-tengah, entah kenapa dadanya merasa makin sesak. Aturan yang ada di Keluarga Rifai yang Atha benci setengah mati.

Tak mau lama membuat mereka menunduk, Atha berlari ke tangga menuju lantai dua. Meninggalkan pelayan yang kini bertanya ada apa dengan nonanya itu. Athaya yang suka menyapa mereka jika masuk atau meninggalkan rumah, kali ini mereka lihat tampak murung seakan sedang ada masalah.

Atha berlari ke lantai dua. Tujuannya kali ini adalah ke kamarnya. Athaya ingin ke balkon kamarnya yang mungkin bisa menenangkannya di situasi seperti ini. Tidak peduli kalau suaminya itu bahkan sedang di kamar.

Saat sudah di lantai dua, Atha berhenti berlari untuk menetralisasikan deru nafasnya. Dia menarik nafas pelan, lalu berjalan menuju ke kamarnya.

"Dia, dia bahkan gak pernah peduli sama gue, Zha."

Ucapan Stefie membuat Atha berhenti berjalan. Dia baru sadar kalau tepat di ruang keluarga, ada Stefie yang berdiri di depan Arzha dengan posisi suaminya membelakanginya. Wajah Stefie sembab habis menangis.

Penasaran, Atha terdiam di tempat untuk mendengarkan.

Cukup lama hening, sampai tangan Stefie menggoyangkan tangan Arzha yang terulur bebas ke bawah. "Zha, kok, lo gak nanggepin gue?"

Terdengar helaan nafas suaminya. "Gue harus apa, Fie?"

Air mata kembali turun di wajah cantik Stefie. "Apa gue, apa gue putusin aja pertunangan gue sama Alvin?"

Alis Atha terangkat. Diputusin? Ada apa sama Stefie sama Alvin?

Lagi-lagi Arzha terdiam. Dia tidak mau menjawab.

Athaya masih melihat mereka, sampai tiba-tiba Stefie melakukan hal yang tak dia duga sebelumnya. Hal yang membuat perasaan Atha makin hancur.

Tunangan sepupu iparnya itu, memeluknya.

Tepat di hadapan Atha.

Bersamaan itu pula air mata Atha jatuh.

Jatuh tanpa dia inginkan, rasakan, dan disadari.

Terlebih Arzha tidak mendorong gadis itu. Tidak seperti dia yang barusan tangannya ditepis, bahkan akhirnya dibentak di depan banyak orang.

Atha menunduk, matanya tidak sanggup melihat itu. Kali ini Atha biarkan air mata yang mengalir membasahi wajahnya. Membiarkan hati juga perasaannya hancur. Membiarkan dirinya menangis lantaran Arzha tidak benar-benar akan sudi untuk sekedar menolongnya keluar dari kubangan perasaan miliknya.

Ada suatu hal yang tak Atha sadari.

Karena ketika Atha jatuh menangis mengakui kehancuran perasaannya, ia, Stefie, tersenyum manis dibalik pelukan Arzha. Merasa menang.

Alden yang akan ke lantai dua sambil menenteng Buku Kimianya, terdiam di anak tangga ke lima sebelum mencapai dasar. Tanpa dia mau, kakinya terdiam di tempat, menyaksikan situasi apa yang tengah terjadi saat ini.

Stefie yang menangis sambil memeluk Arzha, laki-laki itu yang diam saja saat dipeluk tunangan sepupunya sendiri, dan di belakangnya ada isterinya tengah menunduk. Bahkan Alden bisa melihat jika gadis itu menangis. Terlihat dari bahu ringkih Athaya yang bergetar hebat, sebisa mungkin menghalau sesak juga isakan yang kini tengah menderanya karena luka.

Dyra yang berada di sebelah Alden juga ikut terdiam melihat Alden yang berhenti turun. Dia ingin bertanya kenapa, tapi saat melihat apa yang ada di depan mereka, Dyra juga tidak mampu bersuara. Speechless.

Ditatapnya Alden dari samping. Seketika itu pula perasaannya diremas.

Dyra sadar kalau saat ini Alden bukan menatap Stefie yang dipeluk Arzha. Bukan menatap drama yang ada di depannya.

Tetapi Dyra sadar dan tahu, kalau tatapannya Alden mengarah hanya pada seseorang yang tengah bergetar hebat menyembunyikan luka.

Perasaan Dyra diremas. Dia tak buta. Dia bukannya tak tahu.

Tatapan Alden padanya dan tatapan Alden saat ada Atha, berbeda. Ia sadar sebenarnya dari kali pertama Arzha membawa Atha ke sini dan memperkenalkan dirinya sebagai calon isteri Arzhanka Malven Rifai.

Jika Dyra tadi menyebut Stefie dan Arzha sedang ada dalam drama.

Di detik berikutnya dia sadar.

Dia, Alden, dan Atha juga termasuk drama di dalamnya, kan?

Bad Life (After) Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang