Pt. 53

14.3K 646 83
                                    






Sepulangnya dokter, mereka bertujuh memutuskan masuk ke kamar kakek. Arzha berinisiatif mengetuk pintu dan ketika terdengar kata, "Masuk," dari dalam kamar, mereka masuk untuk melihat bagaimana keadaan kakeknya.

Di ranjang, ada Alexander yang tengah setengah berbaring. Dalam hatinya dia sedikit tidak menyangka melihat tujuh cucunya, termasuk Alden ada di sini.

Sadar jika Alexander menatapnya berbeda, Alden membungkuk. Dia harus minta maaf pada kakek setelah Al yang di sebelahnya pun sempat menyikutnya.

"Kakek, maafin Alden karena gak pernah bilang apapun sebelumnya..."

Alexander memejamkan mata, menahan sesak atau serangan yang hendak ia dapatkan lagi karena kini sebenarnya dia emosi melihat wajah cucunya itu. Dia tidak mau serangan itu datang ketika emosi. Maka dari itu, sebisa mungkin emosi dalam dirinya tidak muncul ke permukaan.

Menghela nafas, barulah Alexander menanggapi permohonan maaf Alden. "Kenapa memilih untuk tinggal di apartemen?"

Dan Alden menjawab jawaban yang sama, seperti yang dia katakan pada Al barusan. Alasan klise, kampus ke mansion itu jauh.

Di atas ranjang, Alexander menyilangkan tangan seraya berdecak. "Di sini yang kampusnya sama seperti kamu ada tunangan kamu, Arzha, Atha dan Stefie. Tapi mereka tetap tinggal di mansion. Alden, kamu mengada-ngada?"

"I-itu..." gagap Dyra spontan. Saat menyadari seluruh mata termasuk juga tunangannya kini menatapnya, Dyra sedikit menunduk. "Alden, dia ikut kumpulan organisasi di kampus, kek. Organisasi anak kedokteran, mereka kumpulnya selalu sampai malam. Terlebih akhir-akhir ini sering ada workshop kesehatan."

Mata Alexander memicing curiga. "Sampai jam berapa kalau ngumpul?"

"Sebelas malam, kek." Jawab Dyra cepat. "Maka dari itu, Alden mungkin capek kalau harus pulang ke mansion. Kalau kami berempat, kami gak ada agenda lagi setelah pulang kampus, seringnya. Mungkin di dalam sebulan, agenda kami di luar kampus hanya dua kali, gak sesering Alden."

Mendengar penuturan tunangannya, Alden menyipitkan mata.

Alden heran saja, darimana Dyra tahu dengan detail mengenai itu semua? Sebenarnya omongan Dyra barusan benar, tapi sayangnya alasannya pindah tidak hanya itu saja. Apa Dyra benar-benar menyelamatkan wajahnya dihadapan kakek?

Alexander mendesah pelan. Sebenarnya dia lebih ingin Alden yang jawab, seluruh pertanyaannya. Tetapi sepertinya Dyra mengetahui dengan baik mengenai tunangannya, itu juga merupakan hal bagus.

"Iya, kek. Apa yang Dyra omongin barusan, itu bener." Dalam hatinya dia juga menambahkan, "Meski gak cuma itu saja..." Melihat bagaimana Arzha serta Atha setelah cukup lama dia tidak melihat mereka, mau tak mau Alden harus bisa menyerah atas perasaaannya, bukan? Semua sudah selesai.

Alvin berdeham. "Kek, kita semua udah tau sakit apa kakek dari dokter."

Senyuman tipis tersungging di wajah tua nan tegas Alexander. "Oh, ya?"

"Iya, kek," sahut Stefie. "Kenapa kakek gak pernah bilang mengenai sakit kakek ke kami? Kami, khawatir, kek," tambah Stefie kikuk.

"Kata dokter, kanker kakek masih stadium awal," ujar Al gamang. "Sangat baik kalau kakek mau dirawat di rumah sakit biar mendapatkan perawatan."

"Karena kankernya masih stadium awal, pasti masih banyak peluang untuk cepat sembuh, kek," tambah Atha atas ucapan Al barusan. Meski terkadang Atha merasa canggung dan sedikit takut pada kakek, namun saat melihat kakek seperti tadi, tentu ada perasaan khawatir yang berlebih.

Bad Life (After) Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang