Hari ini, saat mataku menjangkau senja dari balik jendela. Sepucuk surat datang dikirimkan oleh seorang pengirim surat. Aku terdiam. Penasaran. Surat ini selalu saja dikirim padaku meski aku aku bukan siapa-siapa. Dan aku pun masih tidak tahu siapa pengirim dibalik surat luka ini.
Maaf karena terus mengirimmu surat. Aku tidak bermaksud untuk memberimu luka, hanya saja aku benar-benar tidak tahu kepada siapa lagi harus aku tumpahkan perasaanku ini.
Dua malam lalu, aku terhanyut dalam senduku. Bukan karena dia meneriakiku atau mungkin memarahiku dengan amat kasar. Tapi dia tidak pulang dua malam terakhir. Aku hanya bisa diam dan duduk di ruang tamu berharap dia segera pulang. Tangisku kadang menyembur pipiku dengan amat dahsyat. Rasanya seperti berdiri di duri paling tajam.
Dan menurutmu, apakah aku akan harus mempertahankan rumah tangga ini? Kupastikan kau menjawab iya. Sebab kau, lelaki paling baik yang pernah kulihat. Aku akan mencoba mempertahankan pernikahanku ini meski perih. Akan tetap kupeluk walau layu. Dan tetap kuperjuangkan walau rapuh. Sebab perceraian adalah hal yang paling dibenci oleh tuhan.
Dan untukmu, apakah kau sudah memilih orang yang tepat untuk kau nikahi? Kuharap, kau sudah memilikinya dan semoga pernikahanmu tak seperti pernikahanku.
Disini, dibawah pohon yang amat rindang. Kutuliskan semua lukaku. Semua tangisku. Dan semua gelisah-tisahku. Semoga sahabat terbaikku ini membacanya.
19 April 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Terluka
PoetryKita memang tak pernah ditakdirkan untuk saling mencintai. Tak pernah diperuntukkan untuk saling bersama. Tak pernah. Setelah semua yang terjadi aku benar-benar menyadari bahwa kau tak akan pernah aku miliki. Semua keping hati telah menjadi serpihan...