Terkadang, jawaban yang diharapkan oleh logika adalah jawaban yang paling dibenci oleh hati.
Kafe dengan warna putih dan cokelat ini membawaku sejenak pada angan-angan semu. Dimana kau dan aku dulu pernah tertawa lepas disini. Terkadang bolos dan duduk di kafe ini. Andai saja kau datang melihat kafe ini, kau akan terkesima. Sebab pegawai yang dulunya pernah kita jahili, tak akan memiliki pasangan. Ternyata sekarang sudah menikah. Dan mungkin sekarang adalah waktuku untuk menikah. Tak peduli siapa pasangan, yang terpenting adalah menikah secepat mungkin sebab usia tak pernah bisa dimundurkan.
Saat aku ingin berlalu, aku bertemu dengan sepupumu. Dia mengajakku berbicara sejenak, dia tetap ramah denganku. Sebelum dia usai, aku menanyakannya sebuah surat yang dikirim terus padaku. Aku bertanya apakah surat selama ini adalah milikmu. Namun sepupu terdiam dan meneliti surat tersebut. Dia mencoba melihat tanggal pengirimnya. Sebab melihat bentuk tulisan tidak mungkin, surat itu telah ditulis di komputer dan di cetak dengan amat rapi. Aku berharap bahwa surat itu bukanlah darimu, meskipun harapan itu terasa mengkhianati diriku sendiri. Dan jawaban dari sepupumu adalah tidak. Aku tersenyum, luka. Amat dalam. Kami lalu usai, aku kembali pada tujuanku yang harus benar-benar menumbuhkan logikaku, dan sepupumu memilih berdiam di kafe dengan menunggu pasangannya.
Semoga jawaban sepupumu benar, bahwa bukan kau yang menuliskan semua surat luka itu.
1 Juni 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Terluka
PoetryKita memang tak pernah ditakdirkan untuk saling mencintai. Tak pernah diperuntukkan untuk saling bersama. Tak pernah. Setelah semua yang terjadi aku benar-benar menyadari bahwa kau tak akan pernah aku miliki. Semua keping hati telah menjadi serpihan...