DESTINY-17

2.4K 243 0
                                    

"Lo kerja kaya gini gak capek, Wa?" tanya Ben setelah ia dan Dewa tiba di parkiran cafe tempat biasa mereka nongkrong. Berbincang sebentar sebelum pulang.

"Kerja dari pagi sampe malem. Belum lagi sekolah. Gak ada waktu buat lo istirahat," ujar Ben menatap serius Dewa.

Jujur ia tidak tega melihat Dewa kerja seperti ini. Kerja paruh waktu setiap hari. Belum lagi sekolah yang harus ia urus. Sebagai seorang pelajar Ben benar-benar kagum dengan usaha keras Dewa selama ini.

Hal itulah yang membuat Ben betah terus menjalin persahabatan dengan Dewa. Karena Dewa tipe orang pekerja keras. Walaupun tampangnya urakan, namun dia lebih kuat dari anak-anak kebanyakan seusia mereka.

"Dibilang capek sih pasti lah. Tapi lo tau sendiri, gue gak akan bisa ngeluh terus. Gue harus kerja supaya gue bisa hidup," kata Dewa duduk di motornya.

"Tapi ini beda, Wa. Lo kerja dari pagi sampe malem. Terus lo tidurnya kapan? Jangan maksain diri lo terus. Nanti lo sakit gimana?"

Dewa terkekeh mendengarnya. "Lo kaya pacar gue aja. Cemas banget kalo gue sampe sakit."

"Cemas lah! Lo pikir enak apa sakit? Sehat tuh gak bisa di beli!" ujar Ben ngegas.

"Iya, iya, gue tau. Thanks karena lo udah cemas sama gue. Lo adalah satu-satunya orang yang perhatian sama gue kaya gini," kata Dewa tulus menepuk pundak Ben.

Ben tersenyum. Menepuk pundak Dewa seolah memberikan kekuatan pada cowok itu.

"Santai aja. Gue udah bilang kan, kalo gue udah kenal lo lama. Jadi lo gak perlu ngerasa sungkan sama gue. Kalau lo butuh bantuan, lo tau harus cari siapa. Ingat, pintu rumah gue selalu terbuka buat lo."

Dewa tersentuh mendengarnya. Bukan hanya Ben, malah keluarganya juga menerima Dewa apa adanya. Menerimanya di saat mereka tahu bahwa Dewa hanyalah seorang anak terlantar yang di tinggalkan oleh orangtuanya. Dan Ben serta keluarganya dengan begitu baiknya mengulurkan tangan mereka menerima Dewa. Tidak memandang dari segi manapun. Yang penting Dewa baik dan itu sudah cukup bagi mereka.

"By the way, lo sama Selina gimana?" tanya Ben bersedekap duduk di motornya.

"Maksud lo? Gimana apanya?" tanya Dewa bingung.

"Lo masih marah sama dia?"

Dewa mengedikkan bahunya. "Nggak tau," jawabnya.

"Kok gak tau? Ini kan lo yang ngerasain, Wa."

Dewa menghela napasnya berat.

"Gue emang gak marah lagi sama dia. Tapi gue masih kecewa," ucap Dewa.

Ben mengangguk paham. Kembali menepuk pundak Dewa. Menguatkannya.

"Kalo gue jadi lo, gue juga pasti ngelakuin hal yang sama," ujar Ben.

"Oh ya, terus lo sama murid baru itu gimana?" tanya Ben mengubah topik pembicaraan. Ia juga tidak mau mengungkit nama Selina di depan Dewa. Entah kenapa mulutnya bergerak sendiri hanya untuk menanyakan hal yang membuat Dewa jadi murung seperti ini.

"Murid baru?" Alis Dewa bertaut.

"Iya. Yang sering bareng Irene dan Naomi. Siapa namanya?"

"Athena," jawab Dewa sekenanya.

Ben tersenyum misterius.

"Cieee... Namanya langsung inget gitu," goda Ben.

"Emang salah kalo gue tau namanya? Kan dia sekelas sama gue. Bahkan sebangku lagi," ujar Dewa.

"Lagian gue heran sama dia," kata Dewa membuat Ben penasaran.

"Heran kenapa?"

"Dia pengen banget jadi temen gue. Bahkan ngejar-ngejar gue dan ngebujuk gue biar jadi temennya."

DESTINY [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang