DELAPAN PULUH

1.2K 126 4
                                    

Don't forget for vote and comment..

Enjoy the story :)

________________________________

Operasi Aleta berlangsung selama lebih dari 10 jam, dan selama itu pula Ragata terus berada di ruang tunggu bersama Theo dan ayahnya. Beberapa jam lalu Teresa dan yang lainnya kembali ke rumah untuk beristirahat, itupun dengan paksaan karena tentunya mereka tak mau pergi dari tempat itu. Rayyan dan Leo pun sudah pergi dan berjanji akan kembali siang nanti. Ada beberapa hal yang harus mereka urus saat ini, mengenai penculikan ini. Dua pria itu merasa janggal dengan kejadian ini, tapi Ragata tidak terlalu sanggup berpikir jauh sehingga menyerahkan segala urusan pada kedua sahabatnya itu.

Beberapa menit lalu dokter memberitahu mereka jika operasi telah selesai dan Aleta sudah dibawa ke ruang perawatan. Tapi dokter belum mengijinkan anggota keluarga untuk melihat Aleta. Ya, setidaknya Aleta saat ini berhasil melewati masa operasinya, dan mereka benar-benar bersyukur atas itu. Meski tidak tahu kapan gadis itu akan terbangun.

Theo bersandar lelah pada kepala kursi besi itu, meluruskan kedua kakinya sambil menatap Ragata yang berdiri gelisah di tempatnya. Ini pertama kalinya dia bertemu dengan Ragata, tapi dia dapat menilai ketulusan pada pria itu untuk keponakannya. Kemudian dia melirik pada Devano yang duduk tak jauh darinya sebelum kembali menatap Ragata.

"Kau harus duduk, nak." katanya, menginterupsi lamunan Ragata. "Sejak tadi kau terus berdiri. Kakimu pasti lelah menyangga tubuhmu." tambahnya, sedikit bergurau dan membuat Ragata tersenyum kecil.

Ragata berjalan perlahan ke arah kursi lalu duduk di samping Theo. dia menyandarkan tubuhnya ke belakang dan menghela nafas pelan.

"Papa ingin mencari ke mobil sebentar."

Ragata dan Theo menatap Devano dan mengangguk pelan, membiarkan pria itu melangkah pergi. Sekali lagi Ragata menghela nafasnya dengan perlahan, kini lebih teratur dan terasa lebih nyaman. Beberapa jam menunggu tanpa kepastian di depan ruang operasi membuatnya merasa sesak setiap kali menghela nafas. Terbayang jika Aleta bernafas pun adalah sebuah keajaiban pada saat itu.

"Sudah mengenal Aleta sejak lama?" Ragata menatap Theo dan menggeleng pelan.

"Belum terlalu lama, kurang lebih baru satu tahun."

Theo menganggukkan kepalanya. "Teresa bilang jika saat-- kau tahu Aleta pergi dari rumah?" Ragata mengangguk. "Kau menolong Aleta dengan memberinya tumpangan, dan aku sangat berterimakasih untuk itu."

"Aleta sudah banyak membantuku, dan--"

"Dan?" Theo menatap Ragata yang terlihat ragu mengungkapkan sesuatu.

Ragata mengedikkan bahunya pelan, "Entahlah." katanya dengan senyum meringis.

Theo tertawa kecil, entah mengapa dia mengerti ucapan tak tersirat Ragata. Mungkin karena dia juga seorang pria, sehingga mengerti arti tatapan dan gerak-gerik Ragata ketika membicarakan Aleta. Pria terkadang sangat sulit mengungkapkan isi hatinya, apalagi jika hal itu baru pertama kali dirasakannya.

"Aku mengerti."

Ragata menatap Theo terkejut sekaligus panik, "Bukan--bukan itu maksudku. Aku tidak berniat macam-macam pada Aleta, aku--"

"Hei, aku mengerti kau tidak akan melakukan itu pada Aleta, Raga." Theo terkikik dengan reaksi panik Ragata. "Ya, kau tahu-- aku tahu siapa kau sebenarnya dan bagaimana reputasimu. Meski kami hidup di lingkup yang sangat jauh dari para orang kaya, tapi beritamu sangat fenomenal."

Ragata meringis mendengar ucapan Theo, apalagi melihat pria itu menyampaikannya dengan geli. Meski begitu dia merasa lega karena Theo tidak menatapnya dengan tatapan menghakimi. Orang tua lain pastinya akan menghakiminya jika mengetahui keponakannya tinggal bersama pria yang dicap paling hidung belang di negara ini.

INFINITY LOVE - #3 [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang