DELAPAN PULUH TUJUH

897 103 11
                                    

Don't forget for vote and comment..

Enjoy the story :)

________________________________

DI kediaman Dinata, Devano duduk penuh amarah dengan para pengawal berdiri tak jauh darinya. Saras, Handoko, dan Maharani hanya bisa diam dan tak berbicara apapun. Mereka tentu tidak ingin suasana di ruangan itu semakin terasa tegang, terlebih mereka begitu mengkhawatirkan kondisi Ragata saat ini. Meski Ragata sudah sangat dewasa untuk mengurus hidupnya sendiri, tapi perselisihan antara ayah dan anak itu begitu mengkhawatirkan. Bahkan Maharani dan Handoko pun tak bisa melerai keduanya.

"Cari dia dan bawa kesini secepatnya." perintah Devano dingin. Terlalu marah atas keteledoran anak buahnya. Kepala penjaga yang berdiri disana segera mengangguk dan membawa anak buahnya untuk pergi, namun belum sempat mereka melangkah Ragata masuk ke dalam ruangan itu dengan tatapan kosong.

Semua orang disana menatap terkejut sekaligus lega karena Ragata sudah kembali. Namun pria itu terus melangkah menuju tangga tanpa menghiraukan siapapun yang dilewatinya, termasuk Devano. Devano menggeram marah diabaikan putranya, dia dengan cepat melangkah menghadang di depan putranya.

"Darimana kau?" tanyanya. "Kau berani membohongi papa!"

Ragata menatap sekilas ayahnya dengan pandangan dingin sebelum kembali melanjutkan langkahnya dan menaiki tangga.

"RAGATA!" Devano menatap dua anak buahnya. "Lakukan tugasmu." perintahnya yang langsung dilaksanakan oleh dua penjaga yang bertugas menjaga di depan kamar Ragata.

Maharani menegakkan tubuhnya dan melangkah mengikuti cucunya. "Apa kau ayahnya?" tanyanya sarkasme ketika melewati Devano.

Sebagai seorang ibu dan juga nenek dia sangat mengerti apa yang terjadi dengan cucunya. Ada sesuatu yang salah dengan Ragata, tatapan, dan sikap dingin anak itu akan muncul setiap kali dia terluka. Sama seperti saat awal ibu anak itu pergi meninggalkannya.

Ragata memasuki kamarnya, membanting pintu dengan keras sebelum terjatuh di lantai. Tangis yang sejak tadi di tahannya langsung meluap bersama rasa sakit di hatinya. Tubuhnya bersandar pada pintu, meringkuk seperti anak kecil, dan menenggelamkan wajahnya di antara lututnya yang terlipat. Dan dia menangis keras atas rasa sakit dan kebencian pada dirinya sendiri.

Kenapa semuanya harus seperti ini? Rasa sakit yang dirasakannya kini tak begitu tertahankan, sesak. Dia membenci masa lalunya dan semua hal yang pernah dilakukannya hingga bisa seperti ini. Dia membenci ayahnya, dia membenci dirinya sendiri. Dia membenci hidupnya dan takdir yang memisahkannya dengan Aleta. Dia mencintai Aleta, tapi kenapa sesulit ini meraihnya? Apa ini karma dari kesalahan-kesalahannya di masa lalu? Apa ini balasan dari dosa-dosanya?

Amarah yang meluap dalam dirinya membuat seluruh tubuhnya menegang. Ragata memukul pintu dengan keras sebelum berdiri dan menghancurkan seluruh isi rak di dekatnya. Suara pecahan benda dan teriakan frustasi pria itu terdengar bersamaan, membuat Maharani yang baru saja berada di depan kamar cucunya merasa terkejut dan khawatir.

"Raga, apa yang terjadi? Apa yang kau lakukan?" Maharani mencoba membuka pintu di depannya, namun pintu itu terkunci. Rasa khawatir semakin menjadi dan dia dengan keras memukul pintu. "Raga! Buka pintunya! Apa yang terjadi?"

Teriakan Ragata kembali terdengar bersama suara barang pecah. Maharani menangis di tempatnya panik, takut terjadi sesuatu dengan cucunya. Dia menatap para penjaga yang berdiri disana dan memerintahkan untuk memanggil suami dan putranya. "Raga! Buka pintunya, nak! Buka pintunya!"

Maharani menggedor semakin keras sambil menangis. Tak lama suami dan putranya datang dengan terburu-buru. "Cepat buka pintunya, Vano!" katanya histeris.

INFINITY LOVE - #3 [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang