EMPAT PULUH TUJUH

1.1K 116 3
                                    

Don't forget for vote and comment..

Enjoy the story :)

_________________________________

"Ini enak sekali, nek." Aleta berdecak puas dengan rasa yang baru saja di cecapnya.

Maharani tertawa pelan sambil kembali memberikan kue dengan jenis berbeda pada Aleta dan Renata. "Coba yang ini juga." katanya bersemangat. Aleta dan Renata memakan kue tersebut dalam sekali suap.

"Ini juga sangat enak." kata Aleta lagi, menatap Renata yang mengangguk setuju.

"Nenek memang sangat hebat membuat kue. Berbagai macam kue nenek bisa membuatnya." Renata tersenyum bangga untuk kehebatan neneknya. Maharani hanya tersenyum malu mendengar pujian cucunya.

Aleta kemudian beralih menatap meja hidangan yang penuh berisi berbagai macam kue. Matanya berhenti pada piring berisi muffin coklat yang terlihat sangat menggiurkan. "Apa itu juga buatan nenek?" tunjuknya.

Maharani menatap arah tangan Aleta dan mengangguk, "Ragata sangat suka muffin coklat, jadi nenek membuatnya meskipun anak itu pasti akan banyak berkomentar."

"Ragata memang selalu mengomentari banyak hal." Aleta tertawa pelan bersama Maharani.

"Tapi untuk muffin coklat itu dia akan mengomentarinya lebih banyak lagi." keluh wanita tua itu sambil berdecak. "Dan dia baru akan berhenti jika rasa muffin coklat buatanku sama seperti buatan ibunya."

Maharani menghela nafas panjang. Jelas ada kernyitan tak nyaman di wajahnya saat memandang Ragata. Aleta ikut memandang ke arah yang sama, memperhatikan Ragata yang tengah serius berbicara dengan seorang pria. Sesekali mereka melirik ke arahnya dan kembali berbisik. Aleta mengernyit samar saat menangkap raut penuh amarah di wajah Ragata meskipun pria itu menutupinya dengan sangat baik di balik senyum tampannya. Pria di hadapan Ragata pun menyiratkan permusuhan yang tak kasat mata dari cara berbicara santainya.

"Nenek harus kesana dulu, Aleta." Aleta kembali menatap Maharani dan tersenyum saat Maharani melangkah pergi bersama Renata menuju podium kecil. Sepertinya acara akan segera dimulai, dan para tamu pun sudah mulai berdatangan.

Aleta memilih diam di tempatnya sambil menikmati segelas jus buah. Matanya menatap sekitar, memperhatikan orang-orang hilir mudik di hadapannya. Mereka jelas para orang kaya yang hadir bukan hanya sekedar memenuhi undangan tapi juga untuk saling menyombongkan diri. Beberapa obrolan yang masuk ke telinganya hanya berisi ungkapan merendah namun dengan tujuan untuk meroket. Saling mengejek dan menjatuhkan satu sama lain dengan cara sehalus mungkin.

"Kau juga datang?"

Aleta berbalik dan menatap Alvin dengan sedikit terkejut. Dia kemudian tersenyum kecil saat Alvin tersenyum lembut menatapnya. "Kau juga datang?" tanyanya balik.

Alvin mengedikkan bahunya, "Aku tidak punya pilihan lain." balasnya, membuat Aleta sedikit tertawa.

"Kalau begitu kita senasib." sahutnya, dan Alvin ikut tertawa.

Alvin meraih segelas wine dari seorang pelan, menenggaknya perlahan dengan mata tertuju pada Aleta. "Kau terlihat cantik malam ini, Aleta. Terakhir kali aku melihatmu seperti ini sekitar beberapa tahun lalu saat ulang tahun Violence."

"Aku bahkan sudah lupa kapan itu." Aleta menatap Alvin. "Tapi terima kasih atas pujiannya. Kau datang bersama keluargamu?"

Alvin mengangguk, lalu menunjuk keberadaan keluarganya dengan gelas di tangannya. Aleta memandang arah yang ditunjuk Alvin. Di sisi lain ruangan, Iris Stephenson -ibu Alvin- tengah mengobrol dengan wanita-wanita sosialita. Di samping wanita itu, Elva ikut mengobrol bersama teman ibunya. Aleta beralih menatap pria berwajah Korea yang tak jauh dari posisi Iris. Dari interaksinya dengan Iris, Aleta bisa menebak jika mereka saling berhubungan.

INFINITY LOVE - #3 [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang