7. Dibalik Diamnya Radhit

124K 15.3K 328
                                    

Mas Radhit kelihatan masuk ke dalam kamarnya setelah lelah memandangi bayi Mbak Gani. Mas Radhit belum berani menggendong bayi yang baru berusia 3 hari itu. Yang Mas Radhit lakukan sudah pasti diam. Mas Radhit duduk diam di sampingku ketika aku tengah menggendong bayi mungil tersebut.

Beberapa kali sempat ingin aku kembalikan, tapi berkali-kali juga mencegahnya.

"Nanti dulu," katanya beberapa menit yang lalu.

Setelah bayi itu menangis karena haus. Barulah Mas Radhit membiarkan aku, mengembalikan bayi perempuan itu kepada Mbak Gani. Mas Radhit kemudian pamit untuk ke kamarnya membawa tasku bersamanya, kebetulan hari ini kami memutuskan untuk menginap jadi aku sengaja membawa baju ganti dan lain-lain.

Semenjak menikah, aku baru 2x tidur di rumah milik orang tua Mas Radhit. Dari hari pertama menjadi istri Mas Radhit, aku sudah dibawanya ke rumah miliknya di Citra Gading.

Seperginya Mas Radhit, aku tertarik untuk bergabung dengan Mama yang ada di halaman belakang. Mama sedang asik mengguntingi bunga anyelir untuk dirapikan dan sepertinya akan dimasukkan ke dalam vas bunga.

"Isla," sapa Mama.

Aku mengambil duduk di kursi kosong sebelahnya.

"Mama hari ini masak kepiting. Kata Radhit, kamu suka kepiting?"

"Isla, apa aja suka kok Ma."

Mama tersenyum sembari memasukkan beberapa tangkai bunga yang telah dibuangi beberapa daunnya.

"Radhit enggak ngerepotin kan?"

"Enggak kok Ma."

Paling ya diamnya itu, yang terkadang sedikit mengganggu.

"Sebenernya. Mama itu khawatir sama kamu, sama hubungan kalian," curhat Mama.

Aku belum pernah bicara berdua dengan Mama Mas Radhit. Karena ketika aku bertemu dengannya, pasti selalu ada orang lain, entah itu Papa Mas Radhit, Mbak Gani, atau Mas Radhit sendiri.

"Radhit itu diem banget. Kamu juga pasti tau kan dia gimana? Ketika Radhit bilang tertarik sama adik tingkatnya sewaktu kuliah, Mama cuma bisa berdo'a semoga siapapun itu dia bisa betah sama Radhit. Radhit itu beberapa kali pacaran, tapi gagal karena dia terlalu pendiem. Beberapa kali juga berusaha Mama jodohkan, tapi gagal juga karena sikap diemnya."

Aku mengangguk sambil memainkan bunga anyelir di depanku.

"Kemudian waktu dia bilang dia mau nikah. Kita sekeluarga kaget, tapi ya kita dukung. Mungkin Radhit enggak mau kelamaan karena takut kamu keburu jengkel sama sikap diemnya. Kalau udah nikah kan mau pisah juga harus mikir ulang."

Iya juga. Mungkin kalau sekarang masih berpacaran, aku dan Mas Radhit belum tentu berakhir menikah.

"Sifatnya Mas Radhit emang begitu sedari kecil ya Ma?"

Mama tersenyum sambil mengangguk. "Waktu kecil emang udah kalem dan pendiem. Tapi diemnya makin parah waktu masik SD. Mama enggak pernah berani memaksa dia berubah. Ya mungkin itu salah Mama juga."

"Dulu. Hidup kita enggak seenak sekarang Isla. Sebelum Papa jadi pemborong sukses seperti sekarang, Papa cuma pegawai rendahan dengan gaji yang pas-pas. Dulu waktu Radhit dan Gani kecil, enggak pernah mereka bisa beli mainan atau barang mahal. Mereka juga Mama sekolahin di sekolah yang murah dipinggiran kota. Mama enggak tau kalau ternyata lingkungan SD mereka kurang bagus."

"Gani itu sedari kecil memang terkenal sebagai anak pemberani, jadi dia enggak masalah dengan teman-temannya yang nakal. Berbeda dengan Radhit, dia pendiem. Dia enggak suka main sama anak-anak yang kelihatan nakal. Setiap diajak main sama temen-temennya Radhit selalu menolak, karena temen-temennya nakal suka mintain jajan. Padahal dulu uang saku dia juga enggak banyak. Mulai dari penolakan itu, Radhit di masa SD jadi korban perundungan. Dia sering di ejek, dan dikatain. Lama-lama Radhit jadi semakin diem. Dia diem karena takut kalau bicara malah salah, dia enggak berani lagi cerita panjang ke Mama. Hingga suatu hari waktu penerima rapor, Mama liat sendiri bagaimana Radhit duduk dan dilindungi anak-anak perempuan kelasnya ketika sedang di ejekin temen-temen laki-laki di kelasnya."

"Setelah hari itu Radhit baru berani cerita. Mama enggak bisa bantu apa-apa selain ngomong ke guru sekolahnya. Tapi ya sepertinya hal itu juga enggak banyak membantu, anak kecil susah di kasih tau. Sementara mau mindahin Radhit ke sekolah lain juga enggak ada biaya. Jadi lah sampai kelas 5 SD Radhit harus nguatin diri. Waktu kelas 6 Radhit baru Mama pindahin ke sekolah yang lebih bagus. Kala itu keadaan perekonomian keluarga kami makin membaik. Dan setelah itu juga, Mama janji mau kasih apapun yang terbaik buat Gani sama Radhit buat membayar masa kecil mereka."

"Radhit tetep enggak berubah. Meskipun dia enggak lagi dirundung temennya. Radhit masih jadi anak yang pendiem. Mama juga enggak berani menyuruhnya berubah karena Mama tau, kalau seandainya Radhit tumbuh di lingkungan yang baik dia enggak akan jadi seperti sekarang."

"Dulu enggak coba di bawa ke psikolog Ma?"

"Mama mana tau La? Mama sama Papa, cuma lulusan SMA. Kami enggak paham yang seperti itu. Yang Mama sama Papa lakuin cuma mastiin Radhit baik-baik aja di sekolah, punya temen."

"Kalau kamu kesel sama diemnya Radhit enggak apa-apa kok La. Tapi jangan tinggalin Radhit ya? Dia cuma diem, tapi bukan berarti enggak perhatian."

Iya, Mama benar, Mas Radhit itu hanya terlalu diam. Selebihnya menurutku tidak ada yang hal-hal yang menjengkelkan dari dia.

***

Mas Radhit terlihat tidur dengan tenang di kamarnya. Aku baru kembali ke kamar pukul 10.00 malam setelah asik bertukar cerita dengan orang tua Mas Radhit. Ya, sementara aku bercerita dengan orangtuanya Mas Radhit malah tidur di kamar.

Mungkin karena aku terlalu asik dan jadi mengabarkannya. Padahal tadi setelah makan malam Mas Radhit masih duduk bersamaku di ruang keluarga.

Aku masuk ke dalam selimut lalu memandang wajah tenangnya. Mas Radhit ketika sedang tertidur terlihat sangat polos. Pikiranku kemudian melayang membayangkan Mas Radhit kecil yang di mengalami bullying oleh teman-temannya. Pasti membekas sekali untuk Mas Radhit.

Luka yang tertoreh di masa kecil itu terkadang sulit di lupakan bahkan dapat terbawa hingga kita dewasa, apabila ditorehkan terlalu dalam. Tapi semoga saja Mas Radhit tidak menjadikan pengalaman di masa kecilnya sebagai luka yang tergores dalam.

Tanganku bergerak mengusap wajahnya. Wajahnya sedikit kasar karena bulu di wajahnya mulai tumbuh dan belum dicukur lagi. Sedikit pergerakan kemudian muncul, hingga Mas Radhit membuka matanya. Kami saling menatap dalam diam. Tanganku masih berada di pipinya dan mengusap wajahnya.

"Mas Radhit," panggilku.

Dia tak menjawab, Mas Radhit hanya menatapku lurus sambil berkedip.

"Aku sayang Mas Radhit banget," lanjutku yang di hadiahi pelukan olehnya.

Ya meskipun dia tidak menjawabnya dengan suara, tapi Mas Radhit menjawabnya dengan pelukannya.

Soundless HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang