1. Keseharian Kami

180K 16.2K 1.5K
                                    

Keseharianku setelah menikah masih sama seperti biasanya. Yang berbeda tentu saja, sekarang aku punya seseorang yang tidur satu ranjang denganku. Mengenai kebebasan, Mas Radhit sama sekali tidak melarangku ini itu. Mas Radhit juga tidak memiliki tuntutan yang macam-macam. Ya setidaknya selama 3 bulan usia pernikahan, Mas Radhit belum pernah menuntut sesuatu yang  tidak aku sukai.

Baik aku dan Mas Radhit sama-sama bekerja. Kami selalu berangkat ke kantor masing-masing sendirian. Aku maklum, kantor kami berada di lokasi yang berbeda. Tapi terkadang aku juga mau, pergi ke kantor diantar Mas Radhit. Sayangnya aku bahkan tidak berani memintanya, aku merasa takut merepotkan dia.

"Mas, nanti balik jam berapa?"

"Biasa." Dia menjawab ringkas.

Setiap hari selalu begini, aku akan membuka pembicaraan dan Mas Radhit baru akan bicara ketika ada pemantiknya. Mas Radhit baru akan mengawali pembicaraan kalau ada topik bahasan yang penting, selebihnya dia diam dan menunggu aku yang mengajaknya bicara.

Aku hari ini memasak nasi goreng, kali ini aku sengaja membuatnya terasa lebih asin. Harapanku cuma 1, dia mau komplain dengan rasa asin yang berlebihan itu. Namun hingga suap terakhir, Mas Radhit tetap diam. Dia meletakkan sendoknya sambil tersenyum ke arahku.

Kenapa sih dia tersenyum begitu? Aku kan jadi merasa menjadi orang jahat!

"Mas?!" seruku sedikit kesal.

Matanya menatapku lembut tanpa suara.

"Ini ke asinan. Mas biasa aja gitu?!"

Masih dengan senyumnya, "Iya, asin."

Aku menghembuskan nafas kesal. Kalau istri lain mungkin senang, suami mereka tidak pernah komplain dengan masakan mereka. Tapi kasusku berbeda! Rumah tanggaku terasa begitu tenang, dan sepi. Mas Radhit jarang mengajakku bicara, dan aku selalu merasa menjadi orang yang susah payah mencari topik obrolan.

Biasanya obrolan akan mengalir begitu saja ketika sudah mulai dekat atau nyaman seseorang. Namun tidak dengan kami, kami tidak bisa seperti pasangan lain yang bisa saling berasa-basi satu sama lain. Aku masih sering kesulitan untuk mengajaknya bicara panjang. Aku takut membuatnya terganggu, tapi disisi lain aku juga butuh dia bicara panjang. Aku mau Mas Radhit bercerita panjang tentang dirinya, tentang hari-harinya, dan berbagi keluh kesahnya.

Biar aku ulangi, Mas Radhit itu tidak cuek. Hanya saja terlalu diam. Pernah seharian aku sengaja diam, dan responnya juga sama, dia diam seharian. Aku heran, kami ini tinggal satu atap dan terikat hubungan pernikahan, bagaimana dia bisa masih sependiam itu?

Aku pikir lambat laun dia akan mulai lebih banyak bicara. Nyatanya sama saja. Mas Radhit masih sama seperti Mas Radhit yang aku kenal di sebagai kakak tingkatku di bangku perkuliahan, dia masih Mas Radhit yang pendiam, dan yang hanya berbicara ketika diperlukan.

Dulu ketika aku berada di satu kepanitiaan yang sama, Mas Radhit hanya bicara kepadaku terkait keperluan acara. Dia jarang atau malah tidak pernah berbasa-basi. Bahkan ketika kami bertemu di lorong gedung fakultas, Mas Radhit hanya menjawab sapaan dengan mengangguk pelan. Kalau sedang sial dia hanya akan berlalu begitu saja.

Mas Radhit yang pendiam dulu terkenal di angkatannya sebagai mahasiswa yang sangat sulit untuk didekati. Kabar burung yang beredar, dia enggan berinteraksi berlebihan dengan lawan jenis karena sudah memiliki kekasih. Namun setelah aku konfirmasi saat kami sudah menikah, dia bilang gossip itu tidak benar.

Mas Radhit merupakan mahasiswa idaman perempuan. Wajahnya yang kalem dan sifatnya yang pendiam membuat beberapa mahasiswi agresif terang-terangan mendekatinya. Tapi hingga di akhir masa perkuliahan, Mas Radhit tidak pernah menunjukan kedekatannya dengan perempuan.

Aku menyipitkan mata ke arah Mas Radhit yang sedang menumpuk piring kotor di tempat cucian piring. Ingin rasanya aku menambahkan satu sedok garam ke nasi gorengnya, supaya dia tidak jadi memakan sarapannya lalu mengeluh padaku.

Dari pada makin kesal aku berdiri dan mengambil tasku. "Aku berangkat. Mas hati-hati dijalan juga," pamitku.

Tidak ada jawaban, dia hanya mengangguk sambil memperhatikan langkahku, dia mengangkat tangannya sekilas sebagai ganti ucapan 'hati-hati' atau mungkin 'See you', ya intinya begitu dia membalas kalimatku dengan bahasa tubuh.

Sorenya aku ternyata pulang lebih awal. Biasanya kami tiba di rumah dengan jarak waktu yang tidak terlalu lama. Sambil menunggu Mas Radhit pulang aku melangkah ke dapur, niatnya mau mencuci piring. Beruntung ternyata Mas Radhit sudah mencucinya tadi pagi. Well untuk pekerjaan rumah, sebenarnya kami memperkerjakan helper. Biasanya helper yang bekerja di rumah kami akan datang 3x seminggu untuk membantu membersihkan rumah, serta mencuci pakaian.

Mobil Mas Radhit terdengar memasuki garasi. Tak lama dia muncul dan melihatku sejenak lalu bergegas ke kamar. Seperti biasa, kalau aku tidak menyapanya dia akan diam seperti itu. Ya walaupun dia masih mau melihatku di dapur.

"Mas, mau makan malam apa? Aku belum belanja, kita order aja gimana?"

"Iya," jawabnya.

"Mas mau makan apa?"

"Kamu mau apa?"

"Aku mau sup ikan."

Mas Radhit mengambil ponselnya kemudian dia berikan padaku, "Order aja," katanya.

"Mas mau sup ikan juga atau yang lain?"

Fun fact, sampai sekarang aku belum tau apa makanan favorite Mas Radhit. Dia tidak pernah mengatakan apa makan kesukaannya. Aku belum sempat bertanya apa kesukaannya, kalian tidak lupakan kalau Mas Radhit itu harus ditanya dahulu, baru dia menjawab. Selama ini dia hanya menuruti makanan apa yang aku mau. Padahal aku tidak pernah memaksanya untuk memilih makanan yang aku mau.

"Apa aja, aku mandi dulu."

***

Rumah kami selalu sepi. Untuk ukuran 2 orang, rumah kami terlalu besar. Setelah menikah, Mas Radhit mengajakku tinggal di salah satu kompleks perumahan Citra Gading. Rumah di Citra Gading memang terkenal dengan bangunan-bangunan besar dan luas mereka.

Mungkin bagi orang yang sedang mencari tempat untuk menenangkan diri, rumah kami bisa masuk ke dalam list. Mas Radhit itu, meskipun rumah kami luas dan cenderung tidak membuat polusi suara ke tetangga yang lain, dia selalu menyalakan TV dengan volume yang kecil. Berbeda denganku yang suka dengan adanya suara untuk mengurangi keheningan, Mas Radhit rupanya lebih suka kondisi yang hening.

Aku mencoba memakluminya, meskipun aku sangat tidak menyukai keheningan di rumah ini yang membuatku merasa kesepian. Saat ini kami sedang makan di ruang makan, dan seperti biasa hanya ada suara sendok yang beradu dengan piring. Kalau di minggu-minggu awal, aku akan berusaha mengajaknya mengobrol, tapi lama kelamaan aku meninggalkan kebiasaan itu. Segencar apapun aku mengajak Mas Radhit bicara panjang, dia akan menjawab sama saja, pendek dan ringkas.

Setelah selesai dengan makan malam, aku bergabung dengan Mas Radhit yang berada di ruang TV. Dia sedang menonton acara komedi. Dia suka menonton acara-acara yang entertaining, ya meskipun responnya hanya terkekeh pelan —dan itu sangat pelan sehingga mirip dengan suara nafas.

Sekitar 15 menit kemudian aku merasa bosan. "Mas, aku ke kamar dulu. Mau tidur," kataku yang hanya mendapat balasan pandangan mata dan 1 anggukan. Aku pikir dia akan melanjutkan acara menonton TV-nya, tapi ternyata tidak. Mas Radhit memilih mematikannya dan berjalan di belakangku.

Aku tidur menghadap ke arahnya seperti biasa, dan Mas Radhit akan memelukku juga seperti biasa. Mas Radhit suka skinship, dia suka memelukku, dia suka menggandeng tanganku. Bahkan untuk hubungan sexual, kami sama sekali tidak ada masalah, meskipun sepertinya hanya aku saja yang berisik. Masalahku dengan Mas Radhit cuma 1, dia terlalu diam.

Tangan Mas Radhit memelukku dan menggeser tubuhnya lebih dekat. Sedetik kemudian aku merasakan ujung kepalaku di ciumnya lembut. Dan seperti biasa juga, dia akan diam sambil memelukku kemudian tertidur. Setiap hari seperti ini, tidak ada ucapan selamat malam atau yang lainnya, hanya ada Mas Radhit dan pelukan hangatnya saja.








Soundless HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang