51. Penyesalan Radhit

88.1K 10.8K 710
                                    

—Radhit

Isla sama sekali tidak bicara sepatah kata pun pagi ini. Dia melakukan rutinitas pagi harinya dengan wajah yang datar. Sinar matanya yang biasa menatap gue dengan kehangatan, hari ini terasa dingin. Meskipun begitu, dia tidak menolak untuk gue antar seperti biasa.

Ketika Isla menutup pintu mobil dan berjalan menuju gedung tempat dia bekerja. Begitu langkah kakinya menjauh, hati gue terasa kosong begitu saja.

Tidak ada senyumnya pagi ini.

Pagi ini rasanya hambar. Dan yang tergambar di wajah Isla hanya kekesalan untuk gue.

Gue membuka pintu mobil dengan cepat, kemudian berjalan setengah berlari untuk mendapatkan tanganya.

Begitu tangannya berhasil gue raih, gue langsung memeluknya erat. Perasaan bersalah ini terlalu membucah, dan gue masih belum menemukan cara untuk membuat Isla memberi maaf.

Isla sama sekali tidak mendorong gue, yang gue rasakan sekarang ini adalah tangannya yang meremas kaus bagian pinggang gue.

"Isla," panggil gue yang membuatnya makin terisak.

Tidak ingin menjadi pusat perhatian —walaupun banyak mata yang sudah menatap kami. Gue membawa Isla untuk kembali masuk dalam ke mobil.

Kami berdua duduk di kursi belakang. Gue memeluknya sambil mengusap rambut panjang milik Isla. Isla masih terisak. Tangisan membuat gue semakin merasa bersalah. Amat sangat bersalah.

Cukup lama Isla terisak dipelukan gue. Ketika isakannya mulai tidak terdengar, gue pun mengurai jarak untuk menatap wajahnya. Namun matanya menghindari mata gue.

"Mau izin aja hari ini?"

Anggukan kecil sebagai membuat gue mengusap rambutnya pelan.

"Mau kamu izin sendiri atau gimana?" Gue bertanya dengan sangat hati-hati.

"Pulang sekarang." Isla tidak menjawab pertanyaan gue.

"Iya," jawab gue kemudian.

***

Sesampainya di rumah, Isla langsung naik ke kamar, dan gue langsung membuatkann teh hangat dengan sedikit perasan lemon, dan tambahan madu kesukaannya.

"Isla, minum dulu." Gue meletakkan secangkir teh dengan tatakan cangkir di nakas dekat Isla.

Isla kemudian bergerak untuk duduk dan mulai menyesap teh buatan gue. Sembari menunggunya meminum teh, mata gue terkunci pada matanya. Matanya sembab dan membengkak. Gara-gara gue.

"Isla, maaf."

Akhirnya manik matanya menatap hambar ke arah gue. Rasanya sakit sekali melihat Isla seperti ini.

Sungguh, gue nggak mau menyakiti Isla. Namun kenyataan gue lah penyebab tangisannya.

Gue pikir dengan mengatakan bahwa gue resign untuk fokus pada bisnis property yang akan gue geluti dengan serius, hal itu cukup. Ternyata tidak. Isla butuh lebih dari pernyataan, Isla butuh penjelasan yang panjang, dan Isla ingin dilibatkan.

Sebenarnya gue memang sengaja hanya memberi tahu sekilas saja, karena gue pikir yang penting gue mengatakan garis besarnya. Gue tahu ini mendadak dan terkesan tiba-tiba, dan gue pikir Isla tidak masalah karena toh gue mengatakan apa tujuan gue.

Sejak dua tahun yang lalu rencana ini memang diam-diam gue dan teman-teman gue persiapkan dengan matang. Segala perhitungan, termasuk resiko pun sudah kami bicarakan. Jujur, terkadang gue memang pusing. Apalagi ditambah dengan pekerjaan dari kantor dan tekanannya.

Soundless HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang