44. Bahaya Mulutnya Radhit

76.6K 8.5K 352
                                    

"Mas Radhit."

Yang dipanggil hanya diam di sebelahku dan menatapku lurus. Melihatku diam sambil menatapnya, Mas Radhit langsung kembali membaca bukunya. Sejak satu jam yang lalu Mas Radhit fokus dengan bukunya, dan aku sibuk mengganti chanel TV.

"Mas Radhit..." ulangku dengan nada yang aku panjangkan. Mas Radhit kembali meresponku dengan tatapannya yang lembut. Namun Mas Radhit masih belum bersuara.

"Mas Radhit jawab dong. Diem aja. Sariawan ya?"

"Berarti aku sariawan tiap hari?"

Dia ingin bercanda, tapi usahanya gagal karena aku sama sekali tidak tertawa atau tersenyum.

"Nggak lucu..." ejekku.

"Iya."

Aku berdesis pelan. Melihat responku, Mas Radhit tersenyum tipis. "Lucunya diambil kamu semua," bisiknya pelan di telingaku.

Mas Radhit menarikkan selimut untukku sebatas perut, kemudian tangannya mengusap perutku pelan. Kali ini Mas Radhit meninggalkan bukunya dan mendekat padaku. Satu tangannya memeluk pinggangku, satunya mengusap perutku.

"Kenapa?" Akhirnya dia bertanya.

"Bosen," jawabku sambil menatap wajahnya yang jaraknya amat dekat denganku.

"Mau apa?" tanyanya sambil mengecup pipiku beberapa kali karena gemas.

Aku berpikir sejenak, untuk memikirkan apa yang bisa kami lakukan. Mengandalkan Mas Radhit untuk mencari ide bukanlah solusi yang tepat, kalian ingat kan aku pernah bilang kalau Mas Radhit itu sangat tidak inisiatif. Seperti sekarang harus dikoresi sih, karena beberapa kali ada kemajuan ketika Mas Radhit mengajakku pergi duluan.

Mas Radhit masih setia mengusapi perutku, sembari menungguku menjawab pertanyaannya.

"Mau jalan-jalan."

Tangan Mas Radhit yang tadi mengusap perutku secara teratur berhenti sejenak. Melihat ekspresinya saat ini, dia butuh penjelasan lebih lanjut.

"Jalan-jalan ke sekitar rumah aja. Yang penting keluar rumah," terangku.

"Udah jam sepuluh." Itu artinya Mas Radhit tidak setuju dengan ideku.

"Bentar doang Mas."

Mas Radhit diam.

"Sebentar.... Ya?"

"Angin malem Isla." Mas Radhit sedikit menggeser duduknya menjauh. Alisnya hampir bertautan, matanya menyipit.

"Pakai jaket kan ada?"

"Nggak."

Aku mencebikan bibirku lalu berdecak pelan. Aku kemudian memposisikan diriku untuk tidur, serta menarik selimut agar menutupi tubuhku. Oh. Jangan lupa, aku membelakangi Mas Radhit.

Mas di sampingku sepertinya juga hendak tiduran, karena aku merasakan pergetakannya. Diam-diam tangannya berusaha memeluk pinggangku, dan tubuhnya terasa bergeser mendekat.

"Besok aja," bujuknya datar.

Maunya sekarang!

Aku memilih diam tidak menggubrisnya. Mas Radhit belum menyerah, dia kemudian kembali membujukku.

"Besok bisa lebih lama."

Padahal aku tidak meminta waktu yang lama.

"Isla..."

"Tadi ditanya mau apa. Waktu aku jawab makah nggak boleh."

"Jangan. Udah malem."

"Halah!" elakku kesal.

Soundless HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang