32. Usil

93.8K 10.6K 302
                                    

Dari dalam mobil Mas Radhit aku melihat tiga orang laki-laki sedang berdiri di pinggir jalan depan rumah Jaerend —dia rumahnya berada di depan kediaman Refa dan Jano.

Mas Radhit kelihatan melihat sekilas dengan tatapan datar, tidak berminat. Meskipun begitu, dia sempat membunyikan klakson mobilnya sebagai sapaan pada tiga orang itu.

"Baru pulang Mbak?" tanya Wildan ramah saat aku keluar dari mobil Mas Radhit.

"Iya. Kalian pada habis kerja juga?" tanyaku balik karena melihat ketiganya masih menggunakan kemeja. Hanya Jaerend saja yang kelihatan menggunakan seragam salah satu stasiun TV swasta.

"Iya. Mau nongkrong, tapi batal soalnya Bang Jano lagi ada urusan mendadak, Mbak," terang Jaerend.

Mas Radhit yang sudah keluar dari mobilnya hanya berdiri diam saja.

"Mas enggak ikut?" tanyaku padanya.

"Enggak."

"Katanya Mas Radhit mau nemenin mbak aja." Entah ucapan Darren itu ejekan atau bukan.

"Di group tadi bilangnya gitu," lanjutnya.

"Oh ada groupnya?"

"Ada dong. Ya meskipun isinya sebenarnya enggak jelas," jawab Wildan.

"Eh yaudah, kita cabut aja yuk cari makan. Gue laper," keluh Darren.

Kebetulan aku dan Mas Radhit juga belum makan. Aku jadi ingin makan bersama mereka, terakhir makan bersama Darren dan Wildan suasananya sangat menyenangkan karena dua orang itu terus berbicara.

"Kebetulan, kita juga mau cari makan malam. Mau bareng aja apa?"

"Gak papa ya Mas?" tanyaku.

Mas Radhit menautkan alisnya.

"Please..." bisikku pelan.

"Boleh juga Mbak. Order online lagi aja," saran Wildan seakan mengingat kejadian beberapa hari yang lalu.

"Iya tuh. Makan di rumah Mbak Isla sekalian aja, sekalian main game," imbuh Darren.

"Ada game?" tanya Jaerend.

"Lah. Lo ke mana aja? Mas Radhit kan jagonya fifa. Jago kandang tapi," tawa Wildan meledak renyah.

"Yaudah yok. Kebetulan hari ini gue libur." Jaerend mengiyakan.

"Libur apa? Kerjanya di shift ya?" Aku penasaran.

"Libur pacaran Mbak." Jaerend ngenyir.

***

Aku tidak tahu bagaimana perasaannya Mas Radhit, tapi yang jelas aku senang. Rumah yang biasanya sepi mendadak jadi ramai. Aku sama sekali tidak terganggu dengan ulah tiga orang itu. Malahan aku suka melihat interaksi mereka yang benar-benar tidak canggung.

Mas Radhit tidak terbaca. Dia diam entah marah, atau biasa saja, aku benar-benar tidak tahu. Kan biasanya Mas Radhit juga diem aja.

Selesai makan mereka terlihat berkumpul di ruang TV untuk bermain game. Mas Radhit terlihat mengekori mereka dalam diam, sementara aku membereskan meja makan.

Ruang TV menjadi sangat berisik. Bahkan lebih berisik dari beberapa hari yang lalu saat Wildan dan Darren ada di sana. Setelah membereskan meja, aku mengambil buah di kulkas untuk aku berikan kepada empat orang itu, lalu menyusulnya.

"Dimakan," kataku.

"Wah makasih Mbak!" seru Wildan.

"Kalau di rumah Bang Jano, biasanya kita di usir sama Kak Refa," keluh Darren.

Soundless HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang