79. Not Okay

36K 5.5K 289
                                    

"Jangan lupa sampahnya langsung dibuang," kataku sambil menarik selimut. Di lantai tak jauh dariku, Mas Radhit sibuk merakit baby bouncer yang entah sudah berapa lama dia kerjakan.

Mas Radhit itu nggak terlalu pandai merakit perabotan atau apapun itu yang ada hubungannya dengan merakit. Dia membutuhkan banyak waktu untuk menyelesaikan rakitannya.

Aku paham sih, dia memang tidak terbiasa dengan pekerjaan seperti. Dia memang cocoknya duduk dikursi dan memelototi pegawainya.

Kata Darwin, akhir-akhir ini Mas Radhit di kantor lagi mode macan. Ada beberapa orang yang tanpa basa-basi disuruh pulang waktu jam kantor, ada juga yang mejanya digusur dan dipindah ke pos satpam. Sekejam-kejamnya Mas Radhit, paling banter cuma melotot kalau enggak ya ngasih tatapan dingin. Tapi akhir-akhir ini melotot aja nggak cukup.

Kerjaan memang sedang banyak-banyaknya, ada project besar juga yang sedang digarap. Ditambah lagi, Sean masih nggak ada di kantor. Mas Radhit dan Julian pasti sedikit kewalahan, karena otak perusahaan nggak ada satu, sementara Darwin dan Brin itu masih perlu banyak belajar.

Sore tadi Mas Radhit pulang-pulang dengan wajahnya yang lesu. Sudut bibirnya melengkung kebawah, matanya menyipit. Pasti sedang lelah sekali.

Hiburan Mas Radhit kalau pulang kerja ya cuma rakit-rakit perabotan bayi, lipet-lipet baju bayi, dan tentunya bukain paket dong ya. Semoga saja hal-hal yang dilakukan di luar kantor bisa sedikit mengurangi stres yang dia dapat dari pekerjaan.

Aku dulu juga pernah bekerja, jadi aku tahu betul ada masanya di mana kita merasa stres dengan pekerjaan dan butuh pengalihan lainnya.

Mas Radhit terus bekerja dalam diam menyelesaikan bouncer-nya. Sementara aku mengamati pergerakan dari atas tempat tidur. Setelah dia selesai, dia segera membersihkan sampah dan membereskan semua yang tadinya berceceran lantai.

Aku menatap dua bouncer yang diletakkan di dekat baby box dengan senyum yang aku tahan. Sebenarnya kami nggak perlu-perlu amat baby bouncer, tapi tetap aja dibeli.

Melihat kamar ini, sekarang terlihat seperti toko perlengkapan bayi, di mana ada banyak perlengkapan bayi yang dijajar karena belum sempat dibuka dari box-nya dan dimasukkan ke dalam lemari.

Aku buru-buru mengubah posisiku dan menghadap ke arah Mas Radhit yang mendekat dan bergabung denganku. Dia duduk bersandar sambil memeriksa smartphone-nya sejenak sebelum akhirnya itu merebahkan diri di sampingku.

Hari ini memang tidak biasa. Bahkan cara berpakaiannya pun juga berbeda. Mas Radhit itu kalau tidur pun selalu stylish dengan piyama, namun kali ini? Hanya dengan kaos putih polos dan celana 3/4.

Yah begitulah Harindra Radhitya, tidak perlu bicara apapun untuk menunjukkan kalau dia sedang tidak baik-baik saja.

Mas Radhit memiringkan tubuhnya, lalu menyangga kepalanya dengan satu tanyan kanannya, sementara tangan kirinya menepuk-nepuk pinggangku pelan.

"Hari ini kamu marahin berapa orang?" tanyaku membuka pembicaraan.

Mas Radhit menarik satu bibirnya ke samping. "Aku nggak marah-marah," jawabannya.

"Ya memang kamu nggak marah-marah sambil bicara. Maksud aku yang kamu pelototin atau kamu kasih tatapan galak kamu itu."

"Nggak tahu."

"Nih ya, Mas. Marahnya kamu itu nggak semua orang paham. Soalnya kamu marah sambil diem, nggak marah aja diem. Gimana mereka bisa tahu salahnya di mana kalau kamu marahnya sambil diem," kataku panjang yang hanya direspon dengan anggukan. Kemudian dia mengikis jarak dengan memelukku.

Soundless HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang