87. Sekedipan Mata

25.3K 2.5K 143
                                    

Hanya dalam sekedipan mata dua tahun berlalu. Menginjak usia dua tahun Cia dan Cio semakin aktif. Anak-anakku itu tidak bisa diam kalau tidak dalam keadaan tidur. Ketika mata mereka terbuka, maka petualangan baru seakan menunggu mereka. Selain Teh Mira yang membantu di rumah, sekarang juga ada babysitter yang kami bayar sejak aku dan Mas Radhit jatuh sakit saking lelahnya mengurus Cia dan Cio.

Aktifnya luar biasa. Jiwa penasarannya sangat tinggi. Cia dan Cio juga pemberani dan tidak mengenal rasa takut. Mereka sangat mudah menempel pada semua orang. Semua orang. Bahkan dengan orang asing yang baru mereka temui pun tidak takut untuk meminta gendong. Selain tidak takut orang asing, Cia dan Cio tidak takut dengan hewan. Semua hewan. Mulai dari anjing, kucing, kelinci, ikan di akuarium, sampai buaya di rumah tetangga, mereka tidak takut untuk mendekat dan menyentuh.

Luar biasa. Aku sampai heran sebenarnya anakku ini menurun siapa?

Kata mamaku, aku dulu sewaktu kecil tidak sepemberani Cia dan Cio. Menurut cerita mama mertuaku, Mas Radhit kecil adalah bayi ansos yang tidak mau disentuh orang asing. Di usia dua tahun anakku, Cia dan Cio sama sekali tidak memiliki kemiripan denganku atau Mas Radhit. Entah lah, memang tidak mirip sama sekali, atau mungkin belum?

Ini pukul 5 sore, Cia dan Cio sedang bermain pasir di depan rumah. Mereka suka bermain tanah, karena tidak mungkin untuk merusak taman depan rumah, akhirnya dibuatlah kolam pasir kecil di depan teras rumah.

"Aduh..." Aku mendesah pelan melihat dua anak itu sedang bermain pasir dengan cetakan dan ember pasir mereka. Cia dan Cio sudah mandi dari jam 4 tadi. Rencananya ingin aku ajak jalan-jalan di sekitar rumah karena mereka minta, "Yuk. Yuk."

Di kamus Cia dan Cio, yuk adalah kata yang artinya mengajak pergi keluar rumah.

Kami batal jalan-jalan karen Cio tiba-tiba malah berjongkok di depan kolam pasir yang di susul oleh Cia. Sempat aku tarik untuk jalan-jalan  tapi mereka tetap ingin di kolam pasir. Tidak ada yang bisa menghalangi mereka. Kalau aku paksa mereka untuk pergi, mereka akan menangis.

Jurus andalah Cia dan Cio adalah menangis. Sama seperti bayinya mereka dulu, sampai sekarang kalau menangis mereka juara. Keras, nyaring, dramatis, dan susah berhenti kalau apa yang diingkan belum mereka dapatkan.

"Ya udah lah," gumamku pasrah. Lagi pula bisa mandi lagi, dan juga kalau ayahnya pulang pasti mereka akan mengekor ayahnya.

Cia dan Cio sangat menyukai ayahnya lebih dari ibunya. Aku tidak protes, karena memang Mas Radhit itu sangat lembut kepada anaknya. Penuh kasih sayang dan perhatian kepada anaknya itu sudah jelas. Itu adalah hal penting yang sudah banyak dimiliki banyak sosok ayah di luar sana. Tapi yang lembut seperti Mas Radhit? Mungkin ada, tapi aku belum pernah lihat selain suamiku sendiri.

Mobil Mas Radhit terlihat dari kejauhan. Aku berdiri dari jongkokku yang tadinya di pinggir kolam pasir sambil membuat tumpukan pasir bersama Cia dan Cio.

"Ayah pulang!" kataku bersemangat.

Kompkakan dua kembar itu langsung mengabaikan sekop mainannya yang tadi mereka pegang dan melompat girang seperti kelinci.

Oh ya... kelinci. Hasil didikannya Mas Radhit. Doktrin bahwa dua anakku ini lucu seperti kelinci berhasil diserap. Bahkan sampai sekarang sering diulang-ulang kalau sedang gemas dengan dua anakku ini.

"Yayah!"

"Yayah!"

Cia dan Cio kompak memanggil ayahnya.

"Awas. Pelan-pelan," kataku sambil menitah Cia dan Cio keluar kolam pasir untuk menuju Mas Radhit yang mobilnya baru terparkir.

Mas Radhit keluar dari pintu sambil sambil tersenyum lebar menyambut dua anaknnya yang berlari untuk meminta gendong. Mas Radhit masih bisa menggendong Cia dan Cio sekaligus dengan mudah. Berbeda dengan aku yang mulai kepayahan karena sekarang berat mereka sudah hampir 15kg.

Soundless HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang