56. Isla Marah

63.3K 10.3K 1.2K
                                    

Tiga hari katanya?

Tiga hari apanya?! Nyatanya ini sudah seminggu!

Hari ke-3 di Singapore, Mas Radhit memberiku kabar kalau dia harus ke Shanghai. Di Shanghai Mas Radhit menetap 2 hari untuk menyelesaikan urusannya dengan Omnya Sean, yang kebetulan menawarkan project hunian mewah di daerah pegunungan dekat kota kami. Katanya Omnya Sean sibuk, jadi tidak bisa kembali ke Singapore.

Tapi yang membuatku jengkel adalah, sepertinya Mas Radhit berbohong!

Dia yang bilang sendiri kalau setelah urusan di Shanghai selesai, Mas Radhit masih harus mengambil barang-barangnya di apartemen Sean yang ada di Singapore. Hal yang aneh adalah, Sean pulang terlebih dahulu! Dan Mas Radhit stay 2 hari di Singapore dengan alasan mengambil barang. Itu tidak masuk akal!

Aku mulai menebak-nebak. Apa mungkin Mas Radhit sakit? Atau jangan-jangan Mas Radhit sibuk membeli barang-barang yang tidak terlalu perlu? Tapi mungkin tidak sih, Mas Radhit menunda kepulangan karena yang tersedia hanya tiket kelas ekonomi?

Seakan belum cukup penantianku. Setelah pulang, bukannya ke rumah orangtuaku untuk menjemputku, Mas Radhit malah izin pergi untuk menjenguk Charles.

Masih ingat Charles? Charles itu kuda terbaru milik Mas Radhit. Kata Mas Radhit dalam pesan singkatnya, Charles sakit dan Mas Radhit ingin melihat kondisinya.

Kenapa harus kuda dulu yang didahulukan? Aku juga kemarin sempat sakit! Setidaknya jemput aku dulu, lihat keadaan istrinya dulu!

Pukul sepuluh malam, mobil Mas Radhit terlihat memasuki halaman rumah orangtuaku. Bukan hanya aku yang menunggu Mas Radhit, Mama dan Papaku juga ada di ruang tamu menunggu Mas Radhit.

"Bukain dulu," titah Papa kepadaku.

Aku langsung berjalan menuju pintu, rumah, ketika aku membuka pintu Mas Radhit terlihat keluar dari mobilnya sambil membawa beberapa paper bag. Sepertinya itu oleh-oleh untuk Mama dan Papa.

Mas Radhit tersenyum dari balik masker yang dia pakai. Meskipun tertutup masker, senyumnya itu bisa aku lihat dengan jelas dari matanya terutama kerutan matanya yang menjadi ciri khas saat tersenyum lebar. Tapi percuma, aku terlanjur kesal.

Begitu melihatku tidak membalas senyumnya, sorot matanya langsung berubah, bahunya juga sedikit mengendur.

"Nah, ini yang ditungguin Isla akhirnya pulang. Sampai demam loh Islanya," cerita Mama.

"Mama nggak masak, Mas. Tadi Isla udah Mama pesen buat masakin kamu waktu balik, jadi waktu kamu makan sayurnya masih panas," lanjut Mama.

Mas Radhit yang sudah melepas maskernya tersenyum sopan. "Iya," jawabnya kemudian.

"Oleh-oleh, Ma, Pa," lanjut Mas Radhit tenang.

"Makasih ya Mas. Dapet oleh-oleh dari luar negeri nih. Jarang banget ini," kata Papa ramah.

"Mas Radhit nanti nginep sini? Atau mau bawa Isla balik?" tanya Papa kemudian.

"Nginep dulu."

"Ya udah Mas Radhit bersih-bersih dulu. Isla ke dapur, katanya mau masak buat Mas Radhit?" Mama sungguh mengada-ngada.

Padahal aku tidak pernah berkata akan masak untuk Mas Radhit!

"Radhit pamit mandi dulu."

Tanpa disuruh aku mengikuti langkah Mas Radhit yang berjalan ke kamarku. Mas Radhit yang menyadari keberadaanku langsung menatapku bingung. Mungkin karena wajahku yang makin masam.

"Isla?" panggilnya.

Aku tidak menggubrisnya dan langsung membuka almari untuk mengambilkan handuk milik Mas Radhit.

Soundless HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang