12. Ingin Pindah

103K 13.7K 429
                                    


Aku dan Mas Radhit sudah berbaring di atas tidur. Hari ini aku amat sangat bosan sekali di rumah. Mas Radhit seharian pergi karena ada urusan dengan agen property. Aku ingin bertamu ke rumah sebelah, tapi Refa bilang dia sedang pergi bersama suaminya.

Sebenarnya bisa saja aku berkunjung ke rumah orangtua ku atau orangtua Mas Radhit. Tapi kalau sendirian datang tanpa Mas Radhit, rasanya aneh. Nanti bisa dikira kami sedang marahan.

Seharian ini aku hanya mondar-mandir di rumah tanpa kesibukan. Sejak menjadi istrinya Mas Radhit, aku tidak pernah melakukan pekerjaan rumah selain memasak, membereskan dapur, dan merapikan kamar. Pekerjaan seperti menyapu, mengepel, memotong rumput, bahkan menyiram tanaman sudah ada yang mengerjakan.

Aku juga tidak menolak ketika Mas Radhit memperkerjakan helper, karena di hari biasa aku dan Mas Radhit baru ada di rumah saat sore hari, sehingga waktu untuk berberes rumah sangat terbatas. Aku jadi menduga, kalau Mas Radhit sama sekali tidak pernah memegang pekerjaan rumah. Mengingat teman-temannya menjulukinya 'Tuan Muda'.

Dari pagi sampai sore, aku berpindah dari tempat satu ke tempat lain sambil membawa setoples kerupuk amplang kesukaan Mas Radhit yang hanya aku pegangi saja karena hanya itu yang tersisa. Tapi hal itu tidak bisa membunuh rasa bosanku.

Rumah ini besar, sepi, dan meskipun ada banyak perabotan rasanya tetap kosong. Sebenarnya aku tidak terlalu suka memiliki rumah yang besar. Eh, setelah menikah malah tinggal di rumah yang besar yang terasa kosong. Rumah seperti ini, menurutku lebih cocok dihuni oleh suami istri yang sudah mempunyai buah hati.

"Mas?" panggilku.

"Hm?"

"Masih bangun?"

"Hm."

"Mas kan punya banyak apartemen tuh. Pindah yuk?"

Mas Radhit merubah posisi menjadi menyangga kepalanya dengan tangan kanannya.

"Boleh enggak kalau aku minta pindah?"

"Tetangga sebelah nyinyir lagi?"

Ternyata Mas Radhit tahu bahasa nyinyir juga ya.

"Enggak. Refa baik kok, kemarin marena belum kenal aja."

"Rumah ini besar banget Mas. Rasanya kayak kosong aja, sepi juga. Lagian kalau di tinggal di apartemen kan, Mas Radhit gak harus susah-susah bicara sama tetangga."

"Terus kalau tinggal di apartemen, aku bisa kok bersih-bersih sendiri karena enggak terlalu luas. Jadi hemat kan Mas, enggak usah bayar helper lagi."

"Nanti capek."

"Enggak."

"Kamu pulangnya sore."

"Kan enggak harus setiap hari. Lagian cuma kita berdua Mas. Mas juga enggak jorok selain remahan makanan aja sih yang bikin aku bersih-bersih."

Ekspresi Mas Radhit terlihat tidak setuju.

"Mas enggak setuju ya?"

Dia mengangguk.

"Kenapa Mas?"

"Sempit. Jauh harus naik lift. Ribet kalau mau pergi."

Iya sih bener. Kalau di sini kan kalau mau pergi tinggal ambil mobil di garasi.

"Mas suka rumah ini?"

Dia mengangguk.

"Yaudah deh..." kataku akhirnya.

Huftt, lagi pula pindah rumah juga enggak semudah itu Isla.

"Aku mau di sini." Suara Mas Radhit kembali membuatku menatapnya.

"Iya... Aku juga enggak maksa juga kok buat pindah."

"Kamu boleh minta apa aja. Tapi jangan pindah," katanya sedikit lebih panjang.

"Kamu mau apa?" Dia malah menawariku sesuatu.

Aku menggeleng sambil menyentuh hidung mancungnya. "Enggak ada."

"Apartemen lebih sepi. Aku enggak suka."

Di sini juga sepi. Tapi bedanya terkadang masih terdengar sayup-sayup tukang sayur keliling di saat pagi, tawa beberapa anak muda yang jogging di sore hari. Dan deru mobil di jalan depan rumah.

"Kalau pindah ke rumah orangtua Mas Radhit gimana? Kan di sana ramai, apalagi ada Auryn anaknya Mbak Gani?"

Mas Radhit hanya menatapku lurus. Sementara tanganku masih menarik-naik hidungnya gemas.

"Gak boleh juga ya?" cicitku.

Tangannya menyingkirkan tanganku yang bermain di hidungnya lalu memindahkannya ke pinggangnya.

"Tidur aja deh," kataku akhirnya.

"Kalau di sana nanti aku takut kamu terbebani." Mas Radhit kembali bersuara.

"Terbebani kenapa Mas?"

"Mama suka tanya tentang anak."

Benar juga. Ternyata Mas Radhit memikirkan sampai ke sana juga.

"Hmmm. Yaudah di sini aja."

"Kamu mau helper biasanya di suruh tinggal aja?" tawarnya.

"Buat jadi temen aku?"

"Nanti Mas terganggu lagi," lanjutku.

"Kalau buat kamu gak papa."

Aku menahan untuk tidak tersenyum.

"Enggak usah deh. Kalau Mas enggak nyaman gak usah. Kan yang tinggal di sini enggak cuma aku."

"Aku mau kamu nyaman."

"Nanti lama-lama juga terbiasa. Lagian kayaknya aku kebanyakan protes deh sama Mas. Padahal Mas Radhit udah kasih banyak hal buat aku."

Mas Radhit tersenyum lembut.

"Kalau dipikir-pikir Mas Radhit jarang nyuruh aku ya? Minta yang aneh-aneh juga enggak. Apa-apa nurut aja. Kadang ditanyain mau makan apa, pasti Mas ngikut. Mau jalan-jalan sama aku juga ngikut. Kayak enggak punya kesukaan aja."

"Aku punya," jawabnya singkat.

"Coba sebutin kesukaan Mas, selain catetan makanan yang Mas kasih."

"Kamu kesukaan aku." Mas Radhit menjawabnya dengan kalem, tapi yang ada aku malah dibuat salah tingkah ketika mendengarnya.

"Kalau kayak gini kayaknya aku mau tetep pindah aja Mas. Pindah kamar," kataku dengan wajah yang terasa panas.

Mas Radhit hanya terkekeh amat pelan sambil mendekapku dalam pelukannya.

"Asal jangan pindah lain hati." Aku masih mendengarnya walaupun terdengar amat sangat pelan bahkan lebih pelan dari pada orang berbisik.

***






Hehe. Kalau kalian ngikutin aku dari lama pasti enggak kaget, kalau aku sehari bisa update lebih dari 2x.

Soundless HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang