11. Terpaksa Bertamu

107K 12.8K 346
                                    

Kadang aku heran, kenapa Mas Radhit memilih tinggal sebuah rumah mewah yang besar dan sepi, daripada tinggal di sebuah apartemen. Hmm, sepertinya aku harus bertanya tentang alasannya.

Hari ini hari Minggu, kemarin aku sengaja memesan satu box premium cookies untuk aku bawa bertamu ke rumah sebelah. Setelah sindiran perempuan yang tinggal di sebelah rumah kami. Aku mendadak jadi berpikir kalau selama hampir empat bulan kami tinggal di rumah ini, aku dan Mas Radhit belum pernah bertamu ke rumah tetangga.

Aku tiba-tiba berubah menjadi seseorang yang ansos. Apa jangan-jangan aku kebanyakan bergaul dengan Mas Radhit ya? Jadi perlahan-lahan sifat introvert Mas Radhit menular padaku?

Oh No!

Aku mengambil box premium cookies dari meja makan, kemudian bergegas menghampiri Mas Radhit yang tengah sibuk dengan gamenya.

Kalau Mas Radhit sedang tidak keluar bersama temannya, cuma ada 3 kemungkinan hal yang dilakukan Mas Radhit. Pertama menonton TV, kedua bermain fifa, dan ketiga tidur.

"Mas," panggilku.

Dia menatapku sekilas lalu kembali fokus pada permainannya.

"Mas masih lama?"

"Kenapa?" tanyanya sambil menoleh sebentar lalu fokus lagi dengan gamenya.

"Ayo ke rumah tetangga sebelah. Mumpung libur, mereka juga lagi di rumah kayaknya."

Dia menatapku lagi tanpa berbicara. Seperti dia minta penjelasan kenapa harus ke sana.

"Beberapa hari yang lalu kita kan disindir Mas. Terus aku jadi nggak enak, kebetulan selama tinggal di sini kita belum pernah tegur sapa sama tetangga." Aku menjelaskan kepada Mas Radhit meskipun dia tidak bertanya.

Oke, meskipun Mas Radhit tidak bertanya aku tahu dia pasti ingin tahu juga alasannya. Sepertinya setelah menikah dengan Mas Radhit, aku punya bakat khusus yaitu memahami isi kepala Mas Radhit tanpa harus dia suarakan.

"Ayo Mas," ajakku lagi.

Mas Radhit dengan berat hati meninggalkan gamenya.

"Ih Mas. Mukanya kok gitu sih," tegurku.

"Yaudah aku sendiri aja deh," lanjutku tapi tanganku buru-buru digandeng Mas Radhit.

"Ayo," katanya kemudian.

"Mas udah main fifa hampir 3 jam ya! Aku dulu kek, fifanya nanti lagi!" gerutuku.

"Iya,"

"Iya apa?"

Ini juga kebiasaanku yang baru. Selalu menanyakan maksud kata 'Iya' yang diucapkan Mas Radhit, meskipun kadang aku tahu maksudnya.

"Kamu dulu, fifanya nanti."

Semudah itu aku tersenyum kepadanya.

Kemudian aku dan Mas Radhit berjalan ke luar rumah. Di luar rumah ternyata perempuan yang menyindirku beberapa hari yang lalu baru keluar dari maserati miliknya.

Dia yang menyadari keberadaan aku dan Mas Radhit di depan rumah kami langsung memutar bola matanya malas.

"Oh ada di rumah," katanya datar dan cukup terdengar.

Dia punya aura intimidating yang cukup membuatku mengeratkan tanganku yang dalam genggaman Mas Radhit.

"Mas. Kok dia berani banget ya? Mana mukanya intimidating lagi," curhatku pada Mas Radhit.

Tidak ada jawaban atau respon apapun selain usapan ibu jarinya di punggung tanganku.

"Berdoa dulu deh Mas. Kayaknya yang punya rumah kayak macan," kataku sambil menoleh ke Mas Radhit.

Soundless HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang