14. Ketika Isla Menangis

115K 13.2K 378
                                    

Di negara kita ini ada banyak musim. Ada musim panas, musim penghujan, musim durian, musim rambut, dan musim orang menyebar undang.

Akhir-akhir ini aku sering mendapat curhatan teman-teman kantorku, kalau mereka dalam satu minggu bisa menghadiri 3 pernikahan sekaligus. Otomatis hal itu akan membuat kantong mereka terkuras. Jujur lingkungan pertemananku tidak terlalu luas. Dan kebetulan teman-teman kantorku hampir semuanya telah menikah.

Jadilah Aku tidak perlu khawatir dengan berkurangnya pemasukan, toh kalau berkurang masih ada kantongnya Mas Radhit. Hehe.

Mas Radhit tengah mengerjakannya sesuatu di laptopnya. Aku menunggunya di sofa sebelahnya sambil merebahkan diri dengan nyaman. Aku tengah scrolling media sosial milikku yang tidak mengikuti banyak orang itu. Jujur aku tidak terlalu aktif memposting foto.

Jariku terhenti disebuah foto yang membuatku terpaku selama beberapa detik. Jantungku rasanya seakan ingin lepas, kemudian hanya ada perasaan kecewa di sana.

Aku merubah posisiku menjadi terduduk di samping Mas Radhit. Smartphone milikku tergeletak begitu saja ke karpet. Aku tidak sanggup lagi menatap foto itu lebih lama. Ekspresiku berubah menjadi muram dalam sekejap.

"Isla?" panggil Mas Radhit yang kaget karena perubahan yang terjadi padaku.

Air mataku kemudian lolos dengan sendirinya, meskipun aku berusaha menahannya.

Mas Radhit terlihat mengambil smartphone miliku yang terjatuh. Kemudian dia mengamati foto yang berhasil membuat hatiku nyeri itu.

Tangan Mas Radhit bergerak merangkulku dengan satu tangannya. Dan sekarang aku malah terisak pelan.

"Aku sedih banget Mas. Temen aku nikah, aku enggak di kasih tau. Padahal dia udah aku anggep sahabat baik aku," curhatku akhirnya.

"Apa aku ada jahat sama dia ya Mas? Kenapa dia enggak kasih tau aku? Padahal empat bulan yang lalu kita masih baik-baik," lanjutku.

Yang dilakukan Mas Radhit hanya menungguku menangis sambil mendengarkan rengekanku.

"Dulu waktu SMA yang selalu nganterin dia pacaran sama suaminya itu aku. Terus sampai aku di marahin Mamanya dia karena sering bantuin dia bohong soal pacarnya. Kemarin dia juga masih minta tolong buat nalangin DP motornya," isakku tak terima.

"Jahat banget. Padahal kita udah kenal dari SMP. Setiap dia pulang sore karena eskul kadang aku tungguin." Aku masih belum mau berhenti meracau.

"Ya ampun kenapa aku jadi kayak bocah begini sih... Tapi aku kesel Mas. Aku mau curhat juga bingung sama siapa. Apa aku telpon Mama aja ya?"

"Udah malem," kata Mas Radhit akhirnya.

"Aku kecewa banget. Mas tau kan rasanya?"

Mas Radhit mengangguk.

"Curhatnya sama aku aja."

"Enggak ah. Mas di curhatin juga kayak patung diem aja."

"Kan aku dengerin."

"Ceritanya sama aku," lanjutnya.

"Mas emang bisa kasih saran aku harus gimana?"

"Tuh kan diem lagi!"

"Iya."

"Gak nyambung Mas!" Aku menyeka sisa air mataku.

"Biarin aja."

"Enggak bisa... Kan aku temennya dia Mas. Masa iya tega banget."

"Kita tuh deket Mas." Tangisku pecah lagi.

"Aku invisible ya Mas? Selama ini aku enggak berarti? Aku kayak enggak ada harganya di mata dia setelah apa yang pernah aku lakuin."

"Jangan diungkit-ungkit."

"Tapi Mas... Aku kesel. Dulu bahkan aku sampai berani minjemin uang UKT aku buat dia karena dia baru kena musibah."

"Baju aku basah."

Aku langsung memukul pelan bahunya kemudian duduk menjauh.

"Mas tidur aja mendingan," suruhku.

Mas Radhit terdiam di tempat, dan aku melipat kakiku sambil memeluk bantal sofa.

"Aku tuh beneran kesel Mas."

"Iya."

Mas Radhit bergerak mendekat.

"Ngapain?" tanyaku saat dia mendekat.

"Mau peluk."

"Ngapain peluk-peluk?" ketusku yang hanya dia jawab dengan tangannya yang menyisir rambutku.

"Gak usah. Nanti bajunya basah," cibirku.

Mas Radhit kembali diam, begitupun dengan aku yang kembali berpikir tentang temanku yang baru saja menikah itu.

"Aku pikir aku termasuk temen deketnya. Tapi ternyata bukan."

"Isla..." panggilnya dengan nada panjang.

Aku menoleh ke arahnya yang tengah menatapku.

"Kan cuma hilang satu,"

"Tapi aku sayang dia juga Mas."

"Temenku ada banyak. Tapi dari banyaknya temen, dia yang paling lama. Aku kehilangan banget Mas..."

Dia mengangguk sambil menggeser duduknya. Disekanya sisa air di wajahku dengan tangannya, kemudian tangannya bergerak untuk memposisikan kepalaku di dadanya.

"Aku nggak tau. Aku bisanya cuma nemenin kamu," katanya sedikit panjang.

Tanganku menyeka air mataku yang kembali turun.

"Isla," panggilnya yang tak ku jawab.

"Kamu sakit pusing aku bisa beliin obat. Kamu marah minta sesuatu bisa aku beliin."

Aku menatapnya bingung.

"Tapi kalau sakit hati, sebanyak apapun uang atau harta enggak bakal bisa sembuhin itu.

"Biarin aja ya? Mau gimana lagi coba? Kan udah kejadian." Mas Radhit menatapku serius.

Aku malah kembali menangis mendengar Mas Radhit berbicara panjang. Dan Mas Radhit setalahnya tidak bicara lagi. Mas Radhit menungguku sampai aku tenang dipelukkannya.

Ternyata aku tidak butuh saran atau nasehat yang muluk-muluk. Ada seseorang di dekatku yang mendengarkanku dalam dekapannya sudah lebih dari cukup.

***

Good morning dari dunia halu.
I hope konten Radhit-Isla bisa mencerahkan pagi kalian!

Soundless HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang