15. Isla Adalah Jawaban

109K 12.3K 295
                                    


—Radhit

Pertama kali gue tahu namanya sekitar tujuh tahun yang lalu. Hari itu dia mengenakan kemeja merah muda, dia masuk ke dalam ruangan seleksi DPM untuk melakukan tes wawancara.

Matanya sembab. Ketika ditanyai oleh temanku yang lain, ternyata dia menangis karena temannya baru saja pindah ke luar pulau. Hari itu kemudian dia terkenal dikalangan kakak tingkat di DPM dengan, "Isla Narabeel yang nangis itu loh."

Setelah hari itu kami sering bertemu. Dia adalah sosok mahasiswi yang rajin datang rapat, pekerjaan yang dibebankan padanya selalu di selesaikan dengan baik. Setahu gue, dia baik pada siapa pun yang mendekat. Isla bukan mahasiswi pendiam, karena ketika dia sedang duduk di sekretariat DPM dia sering kali berisik bersama anggota yang lain. Pernah dia, terkena tatapan tajam dari gue karena terlewat berisik, padahal di dalam ruangan gue dan beberapa kakak tingkat sedang rapat.

Mahasiswi yang ramah dan kerap menebar senyum lebar itu adalah kesayangannya ketua DPM angkatan gue. Mereka tidak berpacaran, semua orang juga tahu. Isla menjadi anak emas ketua DPM karena kepribadiannya yang baik. Semua orang suka berteman dengannya, bahkan sampai di beri julukan 'national little sister' oleh kakak tingkatnya di DPM. Tapi aku baru tahu dari Isla juga, ternyata meskipun dia punya banyak teman dia belum pernah berpacaran.

Isla dengan ketulusan yang dia miliki. Dia akan menangis ketika berhubungan dengan yang namanya perpisahan. Ketika kakak tingkatnya berpamitan lulus, dia menangis sambil memeluk beberapa kakak tingkat yang dia anggap dekat. Dia juga menyiapkan kenang-kenangan untuk mereka —seingat gue. Sayang, gue tidak masuk ke daftarnya.

Dengan beruraian air mata dia menyalami kami yang pada hari itu lulus. Termasuk ketika berdiri di depan gue sambil mengucapkan selamat, air matanya masih turun dan terisak pelan.

Dan ya, begitulah masa kuliah gue berakhir dengan kami tidak memiliki hubungan yang special.

Gue tidak pernah mengira kalau ternyata di masa depan, gue akan menjadi suaminya. Dulu kami memang saling kenal, tapi tidak lebih sebagai kakak tingkat dan adik tingkat.

Dua tahun setelah gue absen mengikuti agenda reuni tahunan, gue kembali bertemu dengannya, tapi lucunya gue baru menyadari kehadirannya saat acara usai. Sepanjang acara reuni gue bahkan tidak mengetahui kalau Isla ada di sana. Hingga ketika kami bersama alumni DPM angkatan di mana Isla dan gue tergabung, mengajak berkumpul setelah reuni di sebuah bar.

Isla masih sama, rambutnya panjang, dia masih suka menjepit sisi rambutnya sebelah kanan dengan jepitan kecil yang sederhana. Dia menyapa ramah seperti yang dia lakukan pada kakak tingkat yang lain. Sampai disitu gue masih belum merasakan sesuatu.

Hingga akhirnya gue diminta mengantar dia dan teman-temannya yang mabuk pulang. Awalnya gue memang hanya bertanya tentang kabarnya. Lalu kemudian gue bertanya tentang statusnya. Pertanyaan itu sama sekali tidak menggambarkan seorang Harindra Radhitya. Itu terlalu private.

Mungkin saat itu gue terbawa suasana hati karena beberapa teman seangkatan mulai jahil bertanya kapan gue akan membawa seorang pacar. Kebetulan dua hari yang lalu, gue sedikit gusar juga memikirkan perihal jodoh.

Semua hubungan yang gue jalani kandas di tengah jalan. Ketika gue sudah mulai lelah mencari, gue kemudian rela apabila akan di jodohkan. Tapi perjodohan juga tidak berhasil. Gue tahu semua itu terjadi karena sifat gue yang pendiam dan irit bicara ini.

Gue terlalu malas bicara. Bagi gue tidak semua kalimat harus dijawab dengan jawaban yang panjang. Kadang gue merasa tidak nyaman ketika harus bicara panjang lebar. Gue lebih suka bicara singkat, dan menjawab dengan gestur tubuh.

Di umur yang ke 28 tahun, gue mulai gusar. Apalagi gue memikirkan tentang keturunan, dan apakah gue bisa mencukupi kebutuhan mereka sampai setidaknya mereka bisa mendapat penghasilan.

Masa depan itu susah ditebak. Memang saat ini gue berkecukupan. Tapi gue juga harus memikirkan kemungkinan terburuk. Karena itu, gue mau menikah supaya ketika mendapat keturunan, gue masih bisa setidaknya berada di usia yang masih sanggup bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Dan ketika Isla bercerita tentang padangannya di masa depan. Ada sesuatu dalam diri gue yang tiba-tiba bergemuruh. Isla seperti jawaban. Dan gue yakin kebetulan ini bisa menjadi pertanda yang baik.

Dan setelahnya gue berusaha mencari tahu tentang Isla diam-diam. Gue bertanya pada beberapa teman, dan kata-kata yang gue dapatkan hampir sama.

"Dhit, kalau lo mau serius sama Isla gue dukung kok. Gue kenal dia, dia anak yang baik."

Atau

"Gue enggak deket sama Isla. Tapi setau gue dia anaknya nyenengin dan enggak aneh-aneh."

Dan yang paling sering.

"Tapi lo sama Isla kayaknya cocok Dhit."

Kemudian gue memutuskan untuk bertemu dengan Isla sekali lagi untuk mempertimbangkan gue sebagai sebagai calon suaminya. Tak lama dia juga memberikan gue lampu hijau. Seakan takut kalau Isla akan pergi karena kesal dengan sifat pendiam gue, gue langsung menemui orangtuanya dan mengutarakan niat gue.

***

Segini dulu besok lagi yaa!

Soundless HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang