41. Balikan

69.2K 8.1K 361
                                    

Setelah pertengkaran kecil dua hari yang lalu, kini aku lebih sering meminta sesuatu pada Mas Radhit. Aku menyebutnya terpaksa nyidam. Aku akan bilang pada Mas Radhit soal makanan yang ingin aku makan, meskipun sebenarnya aku tidak terlalu menginginkannya. Tapi ya sudah lah, hitung-hitung membuat Mas Radhit senang.

Setiap kali aku mengatakan apa mauku, Mas Radhit akan tersenyum cerah. Seperti biasa, dia tidak banyak mengatakan apapun. Hanya ada beberapa varian jawaban yang akan keluar.

"Iya." Ini akan dia katakan kalau dia tahu di mana tempat membeli makanan yang aku inginkan.

"Belinya di mana?" Sebaliknya, jika Mas Radhit tidak tahu tempat membeli makanan yang aku mau dia akan bertanya.

Kemudian dia akhir dia akan bertanya, "Mau ikut?"

Aku sampai hafal karena hanya itu-itu saja motif jawabannya.

Sore ini kami makan di sebuah tempat makan dekat kantorku. Aku tidak seusil Mas Radhit yang memilih tempat yang jauh dan penuh perjuangan hanya untuk makan. Jadi aku hanya memilih tempat-tempat yang dekat atau searah dengan jalan pulang.

Aku memilih ayam goreng dengan sambal bawang pedas, sementara Mas Radhit aku pesankan sambal tomat karena dia tidak menyukai makanan yang terlalu pedas. Karena aku yang mengajaknya ke sini, jadi aku menawarkan diri untuk memisahkan tulang ayam, agar Mas Radhit gampang menyantapnya.

Kebetulan Mas Radhit sedang mendengarkan telpon. Iya, Mas Radhit hanya mendengarkan telepon saja bagiku. Karena sejak mengangkat telepon tadi, Mas Radhit belum bicara sepatah katapun. Jadi aku manfaatkan saja untuk membantunya memisahkan ayam dari tulang agar Mas Radhit tidak susah-susah mengotori tangannya. Mas Radhit tidak suka mengotori tangannya kalau makan di luar. Mas Radhit juga tidak pernah kelihatan memegang kerupuk dengan tangannya kalau sedang makan di luar. Pokoknya dia hanya mau menggunakan alat makan.

Oh iya... Sedikit informasi, Mas Radhit ini tidak bisa makan dengan tangan. Pernah dulu kami memesan ayam kremes, saat itu aku sedang ingin makan dengan tangan dan Mas Radhit hendak meniruku. Dan kalian tahu apa yang terjadi? Semua nasinya jatuh berceceran, makannya menjadi lebih lama, dan kadang tangannya hanya bisa menjumput sedikit nasi saking tidak bisanya Mas Radhit makan dengan tangan.

"Nih." Aku menggeser piring Mas Radhit yang daging ayamnya sudah terpisah dari tulang.

Mas Radhit kelihatan mengangguk tetapi masih fokus dengan teleponnya. Di akhir dia hanya berkata, "Iya. Saya tutup."

"Siapa Mas?"

"Orang kantor."

"Oh. Ada sesuatu yang urgent kah?"

"Nggak," jawabnya singkat dan ya memang seperti ini, harus aku menanyakan ada apa? Masalahnya apa? Atau pertanyaan lainnya kalau aku benar-benar penasaran.

Setelah menyelesaikan makan kami, kami selalu bergegas pulang. Seperti kebiasaan, kami tidak pernah berlama-lama makan di suatu tempat.  Terkadang ada orang yang suka duduk dulu beberapa menit, atau sekedar basa-basi, tapi Mas Radhit tidak begitu. Kalau sudah selesai ya pulang.

"Ini hari jum'at ya?"

"Kok udah macet sih? Belum juga malem Minggu." Aku memecah keheningan mobil.

"Liat, anak jaman sekarang tuh di lampu merah aja peluk-pelukan di atas motor."

Aku membicarakan dua orang di depan mobil Mas Radhit yang kelihatan sangat menempel. Aku paham kalau pegangan ketika naik motor itu perlu. Tapi yang aku lihat ini sedikit menggelikan karena jelas-jelas di perempuan sangat menempel. Menyebalkannya lagi, mereka ini menggunakan seragam pramuka cokelat.

Soundless HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang