83. Cia-Cio

41.3K 4.4K 368
                                    

Aku melihat lengan kiri Mas Radhit yang nampak terluka dan lecet karena tadi ketika dijahit aku terlalu erat mencengkeram tangannya hingga tanpa sadar aku jadi melukainya.

Aku masih terkulai di ranjang, sementara suster sedang membersihkan bayi kembarku yang baru saja terlahir ke dunia. Mereka beradu tangis memenuhi ruangan ini dengan tangis kencangnya.

Kedua orangtuaku dan orangtua Mas Radhit nampak antusias menemani suster memakaikan pakaian ke dua bayiku. Sementara Mas Radhit tetap setia di sampingku, menungguku dalam diam.

Sama sepertiku, hari ini dia juga mengalami kejadian yang menakjubkan. Hari ini dia resmi menjadi seorang Ayah. Dari tempatnya dia tersenyum melihat keberisikan yang diakibatkan oleh anaknya, serta dua orangtua kami yang nampak gembira menggoda bayi-bayi gemas itu.

Maurin Florencia lahir sepuluh menit lebih dulu dari saudara laki-lakinya yang diberi nama Mauren Florencio. Cia dan Cio. Lahir dengan berat 2,2 dan 2,4 kilogram.

Mendengar nama yang diberikan oleh Mas Radhit aku langsung berteori kalau Flo di nama keduanya bisa jadi terinspirasi dari nama kelinci Flopsy, dan M di awal nama adalah inisial dari Mopsy. Mengingat bahwa aku menentang nama anakku itu Flopsy dan Mopsy, jadinya Mas Radhit cari cara lain untuk mempertahankan nama dua kelinci kembar favoritenya itu.

Kalau teoriku benar, sungguh aku nggak habis pikir. Kenapa sih obses sekali dengan dua karakter kelinci itu?

"Sana dilihat," kataku lemah sambil menyunggingkan senyum.

Mas Radhit menggelengkan kepala lalu menatap ke arahku dengan senyum yang masih terukir di sana. Tangannya yang sedari tadi menggenggam tanganku juga tidak kunjung dia lepaskan.

Kemudian dia berbicara dengan berbisik. "Orang-orang sering lupa, selain bayi, ibu bayi juga harus diperhatikan pasca melahirkan."

Bagiku tidak masalah. Orangtua kami datang tentunya ingin melihat keadaanku serta cucu mereka yang baru lahir. Tapi ya memang mereka lebih excited menaruh perhatian pada dua anakku. Aku tidak mempermasalahkan hal tersebut.

Mendengar Mas Radhit bicara begitu, aku makin mengembangkan senyumku. Aku tahu dia ada dia dekatku karena tidak ingin aku merasa sendiri atau terabaikan pasca melahirkan.

Berikutnya, aku diberi tutorial singkat memberi asi oleh suster, dan waktu minum susu untuk new born. Mas Radhit pasti sudah hafal di luar kepala karena dia banyak membaca buku tentang bayi.

"Dhit, Teh Ida yang ada di rumah Mama minta bantuin jagain si kembar ya? Kalau sama Teh Ida kan udah jelas, Teteh telaten ngurus keponakanmu. Bisa bantu masak sama bersih-bersih juga," saran Mama Mas Radhit.

"Nggak ngerepotin, Bu? Di rumah nanti gimana?" tanya Mamaku.

"Enggak, Bu. Di rumah masih ada yang bantuin."

Mas Radhit tidak mengatakan apa pun, artinya dia setuju dengan usulan mamanya.

Orangtuaku dan Orangtua Mas Radhit berada di kamar inapku sampai jam sepuluh malam. Mereka sempat membantuku untuk memberikan susu formula dan menggantikan pampers untuk Cia dan Cio.

Ruangan menjadi tenang setelah pukul sepuluh. Yang ada di sini hanyalah keluarga kecilku. Aku, Mas Radhit, dan dua anakku.

Saat orangtua kami pergi, baru lah Mas Radhit mendekat ke dua anaknya. Dia berdiri di dekat baby box sambil terkekeh pelan sendirian, memperhatikan dalam diam dua anak kembarnya. Sementara aku di atas ranjang memperhatikan dari tempatku dengan sudut bibir berkedut ingin nenyunggingkan senyum.

Mas Radhit berlama-lamaan berdiri di sana sampai akhirnya Cio menangis. Mas Radhit mengangkat dan buru-buru menggendong Cio dengan pelahan. Meskipun pelan, Mas Radhit sama sekali tidak terlihat takut, atau pun kaku. Mas Radhit benar-benar kelihatan lihai. Dari caranya mengangkat lalu meletakkan bayi di lengannya, gerakannya yang lembut pada bayinya. Dia nampak sudah ahli, padahal ini pertama kalinya dia menggendong bayi baru lahir.

Soundless HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang