63. Take Action

61.4K 9.9K 1.2K
                                    

"Mas Radhit."

"Isla kamu kenapa?" tanya gue dengan nada tidak tenang karena suara Isla terdengar lemas.

"Mas bisa balik? Perutku kram nggak sembuh-sembuh."

"Iya, aku balik sekarang."

***

Dan di sini lah gue sekarang. Gue tengah duduk di sebelah Isla yang masih terlelap.

Selain kram perut, tadi Isla sempat sesak napas juga. Ketika gue menjemputnya, wajahnya benar-benar terlihat kacau. Isla menangis dan sepertinya dia menangis dalam waktu yang lama. Matanya bengkak sekali.

Dari hasil pemeriksaan tidak ada yang perlu dikhawatirkan selain kondisi psikis Isla. Nanti sore Isla sudah dijadwalnya untuk bertemu psikolog, untuk memastikan keadaannya saat ini.

Gue memandang lekat wajah Isla dengan cemas. Siapa yang tidak cemas kalau istrinya tertekan sebegitunya sampai menyerang kesehatannya juga?

Kalau sudah begini memang lebih baik Isla dijauhkan dari para orangtua. Sempat terbesit di pikiran gue untuk pindah ke luar kota untuk menjauhkan Isla dari para orangtua. Tapi sangat mustahil karena gue masih harus fokus dengan perusahaan yang gue dan teman-teman gue rintis.

Isla terbangun sebelum jadwalnya bertemu psikolog. Gue membantunya menyiapkan diri dengan menyisir rambutnya, kemudian membantunya berjalan. Isla menolak menggunakan kursi roda karena setelah bangun dari tidurnya, dia merasa baik-baik saja.

Isla berada di ruangan bersama psikolog selama hampir 30 menit. Setelahnya giliran gue yang mendapat konseling tentang keadaan Isla dan diberi masukan bagaimana cara menghadapi seseorang yang mengalami depresi antenatal. Mendengar kata depresi disebut, hati gue rasanya seperti diremas dengan keras.

Ya Tuhan, tidak pernah terbayang sebelumnya kalau Isla mengalami depresi.

Begitu keluar dari ruangan, Isla terlihat tersenyum lemas ke arah gue. Sebenarnya gue lumayan lemas juga begitu mendengar kata depresi. Tapi ya mana mungkin gue tunjukkan, saat ini yang Isla butuhkan adalah dukungan.

Untungnya Isla mau terbuka dan mengaku kalau dia sedang tidak baik-baik saja. Jadinya Isla bisa mendapat penanganan sedini mungkin.

Gue mengulurkan tangan pada Isla yang sedang duduk. Isla menerima uluran tangan gue sambil tersenyum. Berikutnya Isla menelusupkan tangannya ke lengan gue.

"Di sini dulu ya?"

"Iya, tapi Mas Radhit tidur di mana?"

"Nanti minta tambahan ranjang."

"Emang boleh?"

Kalau punya uang pasti boleh.

Lagi pula rumah sakit ini masih dekat dengan keluarga Darwin. Dan ini lah salah satu alasan kenapa orang-orang yang berada di high society cenderung suka berkawan dengan sesamanya. Mereka bisa saling memanfaatkan satu sama lain. Ya memang begini kan hidup?

***

Yang gue lakukan selama tiga hari hanya berada di samping Isla. Menemani Isla berolahraga, berjalan-jalan di rumah sakit, menungguinya menyelesaikan rajutannya.

Tiga hari ini rasanya seperti hari libur yang kami berdua habiskan di rumah. Jadi kalau ditanya bosan atau tidak, jawabannya tidak karena di hari libur biasa, gue dan Isla terbiasa menghabiskan waktu berdua di rumah.

Masalah pekerjaan tidak lagi menjadi masalah. Gue sudah tidak menjadi pegawai di kantor orang, jadi mau datang ke kantor atau tidak ya suka-suka gue. Dan ini lah keuntungan yang gue jelaskan pada Isla di awal.

Soundless HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang