54. Slowly But Surely!

64K 10.1K 866
                                    

Aku suka dengan perubahan Mas Radhit akhir-akhir ini. Setelah marahnya aku beberapa minggu yang lalu, Mas Radhit pelan-pelan berubah. Dia akan mengatakan padaku jadwalnya hari ini. Bagian terfavoriteku adalah ketika Mas Radhit selesai bekerja dan ada di rumah bersamaku.

Setelah makan malam biasanya Mas Radhit pelan-pelan akan bercerita tentang harinya di kantor. Seperti hari ini.

"Anggaran dasar harus dirubah."

Maksudnya adalah anggaran dasar PT.

"Iya? Terus Mas Radhit yang kerjain? Atau siapa?"

Dan tugasku selanjutnya tentu saja bertanya lebih lanjut.

"Aku, Sean, sama Darwin."

"Darwinnya gimana?"

"Nggak paham-paham."

Aku tertawa pelan. Pembahasan soal Darwin, biasanya akan membuat Mas Radhit mengeluh.

"Masih sibuk banget berarti? Ngajuin ke Kemenkuham nunggu revisi anggaran dasar dulu?"

"Iya."

"Maaf jadi sibuk," lanjutnya.

Mas Radhit memang sibuk sekali, lebih sibuk daripada saat bekerja di kantornya yang dulu. Mas Radhit bilang padaku, sibuknya dia paling hanya sebentar. Di PT barunya Mas Radhit menjabat sebagai komisaris bersama Sean. Direkturnya Julian, Wakilnya Brin. Lalu Darwin yang mengurusi manajemen keuangan dengan bantuan Mas Radhit dan Sean.

Bicara soal Darwin. Mas Radhit itu pernah mengeluh, Darwin itu katanya pintar hanya saja suka menjadi bodoh karena selalu terburu-buru. Maka dari itu Julian, Sean, dan Brin, meminta Mas Radhit mengajari Darwin. Sean terkadang sama seperti Brin dan Darwin yang kalau sedang kumat gilanya mereka akan menjadi kekanak-kanakan, jadi Mas Radhit adalah orang yang dianggap paling tepat untuk membantu Darwin. Mas Radhit mengatakan padaku, kalau dia sibuknya karena harus mengajari dan mengawasi Darwin sampai PT stabil. Setelah itu ya pekerjaannya seperti komisaris pada umumnya.

"Nggak sampai anak kita besar," kata Mas Radhit tiba-tiba.

Mas Radhit kelihatannya tidak ingin terlalu masuk ke dalam. Setelah aku tanya lebih lanjut, Mas Radhit ingin punya banyak waktu dengan keluarga. Mas Radhit ingin pekerjaan yang tidak terlalu menyita waktu di masa depan. Selagi Ada kesempatan katanya harus dimanfaatkan.

"Mau hidup enak itu nggak ada salahnya. Dapat privilege seperti ini juga nggak ada salahnya dimanfaatkan," ujarnya saat menjawab pertanyaan kenapa tidak mau masuk lebih jauh seperti Julian, Brin, dan Darwin.

"Kalau kita bisa hidup nyaman tanpa harus pusing kenapa enggak? Aku nggak ambil yang bukan milikku, aku juga nggak ngelakuin sesuatu yang buruk buat orang lain," lanjutnya.

Aku tersenyum lebar mendengarnya bicara panjang.

"Jadi itu alasannya kenapa kemarin nggak mau jadi direktur?"

Oliv istri Julian mengatakan padaku, sebenarnya Mas Radhit lebih dipercaya menjadi direktur. Sifat pendiam Mas Radhit itu membuatnya memiliki pemikiran-pemikiran yang dalam. Kalau Mas Radhit jadi direktur kemungkinan banyak yang segan, karena pembawaan Mas Radhit saat bekerja selalu dingin. Padahal memang wajahnya saja yang kadang begitu, aslinya tidak dingin hanya terlalu diam.

"Banyak orang kehilangan waktunya buat keluarga demi uang. Mereka baru sadar ketika udah tua. Aku nggak mau begitu. Aku kerja, tapi maunya tetep bisa punya banyak waktu sama kamu. Aku mau punya banyak waktu buat ikut ngurusin anak kita. Seringkali tanggung jawab buat ngurusin anak dibebankan ke seorang istri, padahal suami juga punya tanggung jawab yang sama juga."

Lagi-lagi aku tersenyum.

"Semua ini udah aku pikirin matang-matang Isla. Skenario apabila usaha yang aku sama temen-temenku jatuh pun, manajemennya udah ada. Yang jelas aku nggak menanam semua uang yang aku punya di satu tempat. Kamu jangan khawatir soal gimana keuangan kedepannya."

Dan kekhawatiranku sedikit terjawab. Di awal Mas Radhit mengatakan dia akan mendirikan PT bersama temannya, dia sudah mengatakan padaku resikonya besar. Meskipun Mas Radhit menggunakan uangnya sendiri, tapi tetap saja aku takut. Tidak jarang kan orang menjadi stres dan gila setelah usahanya gagal?

Mendengar Mas Radhit tidak menginvestasikan semua uangnya untuk modal pendirian PT, aku lega.

"Jadi nanti kalau udah stabil Mas Radhit punya banyak waktu? Terus ada rencana apalagi?"

"Mau mendidik anak kita. Kasih contoh yang baik."

Kenapa sih? Bikin senyum-senyum terus!

"Nganterin anak sekolah mau?"

"Mau."

"Nanti kalau anak kita ikut pentas di sekolahnya Mas Radhit mau nonton?"

"Mau."

"Nungguin anaknya waktu lagi lomba mau?"

"Mau. Apa aja mau."

Aku terkekeh pelan.

"Terus kerjaannya sama anak doang?"

Kini giliran Mas Radhit yang tersenyum. "Berdua sama kamu."

"Iyaa, nanti berdua sama Isla ya. Sekarang Isla mau cuci piring dulu," pamitku disertai kekehan pelan.

"Aku ke atas dulu boleh?"

"Iya, naik aja nanti aku susul."

"Aku capek."

Aku berbalik sambil mengembangkan senyum. Akhir-akhir ini Mas Radhit juga sudah mau terbuka dengan kondisi badannya. Capek, pusing, pegel, adalah keluhan yang sering dia katakan. Tapi percayalah, keluhan itu bukan seperti orang merengek atau terdengar seperti keluhan manja. Keluhan Mas Radhit itu lebih seperti informasi bagiku.

"Iya, nanti aku pijitin ya?"

Dia mengangguk lalu segera melangkah meninggalkanku. Aku masih menatap punggungnya yang menjauh. Punggung itu rasanya akhir-akhir semakin lebar, sehingga ketika Mas Radhit mendekapku rasanya lebih hangat.

Tanganku kemudian mengusap pelan perutku. "Denger kan tadi? Ayah bicara banyak ya? Kalian seneng nggak?" tanyaku pada si kembar yang di dalam kandunganku.

Tiba-tiba aku merasakan pergerakan dalam perutku, sepertinya si kembar sedang menggeser tubuhnya.

"Seneng ya? Denger ayah tadi ngomongin kalian? Mama juga seneng. Ayah kalian pelan-pelan mulai berubah ya?"

Hubungan kami itu seperti proses panjang yang terus berjalan. Dan akan terus berjalan untuk saling memperbaiki dan mengisi satu sama lain. Hubungan kami terus berkembang. Untuk sampai ke hari ini, ada banyak hari yang kami lewati berdua untuk tiba di hari di mana Mas Radhit akan tiba-tiba bercerita sendiri tanpa diminta.

Semua yang aku dan Mas Radhit jalani sampai detik ini bukan sebuah perjalanan instan. Pelan-pelan tapi pasti, kami belajar bersama. Aku belajar menerima dan mengartikan diamnya Mas Radhit. Mas Radhit belajar tentang Isla yang lebih suka sesuatu yang sederhana. Semua ini memang tentang perjalanan perlahan tapi pasti untuk saling menerima satu sama lain.


***





Double update nih!


Oh iya buat yang nanya kapan ceritanya selesai. Sebenarnya aku juga belum tau, soalnya ini cerita memang dari awal cuma iseng aja buat selingan. Tapi kalau ditanya moment endingnya dibagian apa, cerita ini bakal berakhir waktu Isla lahiran  yaaa.

Soundless HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang