8. Ketika Kita Bertemu Kembali

123K 14.5K 432
                                    


Kembali di hari dimana aku kembali bertemu dengan Harindra Radhitya.

Hari itu hari Sabtu, pukul 03.00 sore. Aku masuk ke dalam sebuah restoran keluarga yang di sewa oleh panitia reuni kampusku. Semua berjalan seperti biasa hingga akhir acara. Sebelum acara berakhir, ada seorang Kakak tingkat yang mendatangiku mengajak berkumpul dengan mantan anggota DPM fakultas. Karena banyak teman-teman yang aku kenali turut bergabung, tanpa pikir panjang aku langsung mengiyakan ajakannya.

Seorang Kakak tingkat menawarkan untuk pindah lokasi ke Bar miliknya yang kebetulan baru saja buka. Aku yang tadinya tidak sadar adanya Mas Radhit, sejak berpindah tempat ke Bar milik kakak tingkatku, aku jadi menyadari ke beradaannya. Dia terlihat duduk di meja ujung bersama teman-temannya, sementara aku dan temanku setelah menyapa mereka kami berniat mencari tempat duduk.

"Sini aja, pada jangan jauhan," suruh Kak Jeslyn.

Karena meja kosong terdekat berada di dekat meja Mas Radhit, aku dan teman-temanku memutuskan untuk duduk disana. Kebetulan aku tidak bisa minum alkohol, karena kalau nekat kepalaku biasanya langsung pening, jadi aku memilih menghindarinya. Berbeda dengan tiga temanku yang lain, mereka kelihatan menikmati minumannya sampai tidak sadarkan diri.

"Yaudah dianter aja,"

"Bawa mobil enggak lo tadi?"

"Yang tiga di anter Radhit aja. Kosong kan Dhit?"

Kakak tingkatku yang masih sadar mencoba mencarikan mobil untuk beberapa orang yang sudah teler. Termasuk tiga temanku.

"Isla lo naik apaan?"

"Tadi bareng mereka. Tapi mereka udah tepar."

"Yaudah lo bareng Radhit sekalian.. Lo tau rumah mereka kan?"

Dan begitulah, akhirnya aku duduk di kursi penumpang mobil Mas Radhit. Aku sama sekali tidak terganggu dengan diamnya Mas Radhit, karena memang sudah tahu sedari dulu kalau dia sangat diam.

Namun aku dibuat kaget dengan caranya bicara kepadaku yang mendadak menjadi aneh.

"Kamu apakabar Isla?"

Setahuku, kami menggunakan sapaan 'Lo' ketika berbicara.

"Baik. Mas Radhit gimana?"

"Baik."

"Oh. Syukur deh. Lama banget ya Mas enggak ketemu. Kirain Mas Radhit udah nikah loh. Soalnya kayaknya taun kemarin enggak dateng ya?"

"Aku belum nikah. Kamu?"

Aku tertawa. "Belum juga. Kalau udah nikah pasti aku sebar undangan di group alumni DPM juga kok Mas."

"Kamu enggak minum?"

Baru pertama aku diberi pertanyaan basa-basi oleh Mas Radhit. Dulu ketika masih di kampus dia akan bertanya hanya soal kepentingan DPM, atau pertanyaan terkait apakah kami yang perempuan sudah mendapat tebengan untuk pulang. Itu bukan modus kok. Teman-teman DPM angkatanku dulu selalu menanyakan tentang hal tersebut, karena kami hampir setiap rapat selesai tengah malam.

"Enggak Mas. Kebetulan enggak suka."

"Kamu punya pacar?"

Aku membelalakkan mata mendengar pertanyaannya. Tapi aku mencoba mengatur ekspresiku.

"Bisa aja nanyanya. Mau ngejek ya pasti?"

"Mas Radhit sendiri gimana. Kapan nyebar undangan nih?"

"Aku belum punya pasangan," jawabnya kalem.

Aku mengangguk dan tidak kembali membalas kalimatnya. Aku bingung harus membalas apa, karena setahuku Mas Radhit jarang bereaksi terhadap candaan. Paling banter dia hanya tersenyum kalau mendengar candaan konyol temannya.

"Kamu mau pasangan yang kayak apa?" tanyanya yang terkesan panjang —untuk ukuran seorang Harindra Radhitya maksudku.

"Udah dewasa gini sih gak macem-macem Mas. Yang penting kepribadiannya bagus, enggak suka main tangan atau kasar sama perempuan, akunya cocok, sama-sama bisa nerima satu sama lain. Makin tua tuh pilihan semakin sedikit Mas. Ruang pergaulan kita buat ketemu orang baru juga enggak banyak. Kalau laki-laki mungkin masih bisa milih, sementara aku sendiri sebagai perempuan yang bergaul di lingkungan yang mostly isinya perempuan, aku merasa kalau aku enggak diposisi dimana bisa memilih Mas."

Mas Radhit mengangguk, kemudian kembali bertanya, "Kamu udah siap nikah?"

"Aku enggak tau udah siap atau belum. Tapi aku ada kemauan buat kesana. Kedengaran gila mungkin buat orang-orang jaman now. Mungkin kalau mereka denger jawaban aku ini, mereka ngatain aku perempuan kampungan yang kebelet nikah. Aku tau Mas, nikah itu enggak cuma tentang keinginan, tapi kita harus siap juga."

"Aku sekarang 26 tahun, beberapa temen ada yang udah nikah. Ada juga yang masih mau berkarir karena ngerasa masih muda dan mau seneng-seneng dulu. Awalnya aku juga mau begitu, tapi kemudian aku jadi mikir. Semisal aku nikahnya nanti-nanti kasihan enggak ya anak aku. Kan aku enggak tau, nanti mau nikah umur berapa, dan dikasih anak umur berapa. Jadi ya... Dari situ aku kepikiran pengen nikah. Nanti kalau punya anak sebelum usia 30 tahun kan, lumayan waktu anak aku lulus kuliah akunya belum pensiun kerja juga."

"Eh, kok jadi cerita panjang sih. Kenapa Mas Radhit jadi tanya-tanya kayak gini coba?" tanyaku sambil bercanda.

"Kamu sendiri yang cerita."

Padahal dia juga yang mancing.

"Kalau ada yang tertarik sama kamu dan mau serius kamu mau?"

"Tergantung orangnya juga Mas. Kalau aku enggak kenal sama sekali ya harus kenalan dulu sampai aku yakin."

"Aku suka cara berpikir kamu," pujinya.

"Hehe. Tapi kadang sama temen-temenku, aku dianggap terlalu jadul."

"Isla."

"Ya?"

"Rumah kamu di mana? Aku mau ke sana."

"Oh? Kan emang Mas mau mau nganterin aku pulang kan?"

"Kalau lain waktu ke rumah kamu boleh?"



***







Belum mau berhenti ngetiknya ueueue.

Mas Jano sebentar aku tinggal dulu ya wkwkw

Soundless HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang