75. An Apology

35.6K 6.5K 972
                                    

Kehamilanku sudah memasuki bulan sembilan. Itu artinya tinggal menghitung hari sebelum anak kembarku bisa aku timang.

Sejujurnya aku tidak sabar. Begitu juga Mas Radhit. Setiap malam Mas Radhit pasti mengajak bicara anak kami.

Ya lumayan lah jadi nggak soundless. Biasanya Mas Radhit akan menaruh tangannya untuk merasakan perutku yang terkadang bergerak karena anak kami.

"Lucu ya?" gumam Mas Radhit sambil menciumi perutku lalu mengusap-usapnya.

"Lucu dong. Apalagi waktu keluar nanti," balasku yang membuatnya tersenyum.

Berikutnya kami terdiam. Mas Radhit kini hanya bisa memeluk tanganku saja karena posisi tidur yang aku sukai adalah terlentang. Bahkan dibagian belakang tubuhku harus diberi bantal karena kalau tidak, aku akan merasa pegal.

"Isla," panggil Mas Radhit pelan

Aku menoleh ke arahnya dengan wajah penasaran.

"Mama kamu tadi chat."

Mendengar kata 'Mama' seketika aku gusar. Tanganku mengusap-mengusap. Ada penyesalan yang kembali datang penyesalan karena aku pernah kecewa kenapa aku hamil dan meninggalkan pekerjaan lamaku.

"Kangen, mau ketemu."

Aku hanya terdiam, aku tak tahu harus membalas Mas Radhit. Mas Radhit juga kelihatan menunggu jawaban dariku.

Lama aku berpikir. Mau bagaimana pun dia seseorang ibu yang memiliki anak dan membesarkanku dengan baik, meskipun caranya sedikit keras karena ingin aku menjadi anak yang mandiri, bahkan ketika aku sudah punya suami.

Selama beberapa bulan ini Mama benar-benar tidak menghubungi aku. Entah apa yang dikatakan Mas Radhit dan bagaimana cara membujukknya agar tidak menggangguku dulu, tapi yang jelas Mas Radhit sukses membuat Mama tidak mendekat.

Memikirkan tentang Mama hingga kini masih membuatku merasa takut dan nggak nyaman. Kata-katanya yang nggak mengenakkan hati masih aku ingat dengan jelas. Aku rasa aku masih terlalu sensitif.

Kalau hubungan dengan keluarga Mas Radhit, jujur lebih baik. Terkadang ketika aku bervideo call dengan Mbak Gani, Mama akan muncul untuk menyapaku, dan dari situ keadaan mulai membaik meskipun Mama tidak pernah bertemu denganku.

Keluargaku dan keluarga Mas Radhit itu sangat berbanding terbalik. Mas Radhit memiliki orangtua yang hangat, dan tidak kaku. Sementara keluargaku cenderung kaku karena Mama bukan tipe yang suka berbasa-basi atau bercanda. Setidaknya yang masih bisa aku syukuri adalah aku dibesarkan dengan kedua orang tua yang lengkap dan meskipun Mama kaku sekali tapi aku tahu dia sayang padaku.

"Belum siap?" tanya Mas Radhit.

Aku masih diam.

"Nggak apa-apa," ujar Mas Radhit yang berusaha menenangkanku.

"Aku takut," balasku.

Mas Radhit hanya mengangguk sebagai responnya. Tangannya mengusap pelan punggung tanganku dan matanya masih menunggu aku bicara lebih panjang.

"Menurut Mas gimana? Hatiku masih ketakutan. Apalagi gara-gara Mama, aku sempat menyesali kehamilanku. Dan kalau keinget aku jadi ngerasa bersalah sama anak kita, Mas."

"Oke," jawabnya yang membuatku bingung.

"Oke gimana?"

"Belum bisa ketemu Mama."

Aku menarik napas panjang. Mau sampai aku begini? Mau sekeras apa pun Mama, tetap Mamaku.

Hatiku harus siap. Karena sudah lama juga aku tidak menghubungi Mama. Bahkan karena keadaan ini, Mama mertuaku juga ikut terkena imbasnya.

Soundless HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang