16. Ungkapan Radhit

105K 12.5K 501
                                    


—Radhit

Di minggu pertama kami menikah. Gue dapat memastikan kalau Isla benar-benar nyaman berada di dekat gue. Isla memiliki sifat yang cenderung clingy apabila berhadapan dengan orang-orang yang dia anggap dekat. Saat Isla mulai menunjukan sifat clingy-nya gue hanya bisa menarik sudut bibir ke atas karena senang.

Ada kemajuan dalam hubungan kami, setidaknya begitu. Dua minggu sebelum kami menikah, gue berkata bahwa gue yakin kalau kita bisa saling belajar mencintai satu sama lain. Dan hal itu nyata adanya. Cinta itu bisa datang ketika kami terbiasa dan saling menerima satu sama lain.

Kami saling membuka diri satu sama lain, dan saling memberikan tempat untuk satu sama lain. Mungkin beberapa orang yang mengalami perjodohan dan berakhir menjadi pasangan yang bisa saling mencintai satu sama lain berawal dari situ juga.

Hari ini adalah seminggu sejak Isla menjadi istri gue. Isla sedang duduk di meja dapur untuk memeriksa belanjaannya. Tadi Isla pamit untuk pergi belanja, gue sengaja tidak menawarkan diri karena aku ingin membiarkan Isla memiliki waktunya sendiri.

"Aku tadi beli salmon. Mas mau salmonya diapain?"

"Terserah," jawab gue sambil membantu memasukkan barang-barang ke kulkas tanpa dia minta.

"Kayaknya aku belanjanya kebanyakan ya Mas? Mas biasanya suka makanan ringan gitu enggak?"

"Suka."

"Aku juga suka. Apalagi rasa cokelat. Aku fans berat cokelat. Dulu waktu aku kecil gigiku sampai habis gara-gara kebanyakan makan cokelat."

Gue suka ketika Isla mulai bercerita. Meskipun gue hanya mendengarkan sambil tersenyum.

"Terus dulu aku suka permen juga. Tapi sekarang enggak. Makin gede, rasa permen jadi ngebosenin."

Ketika Isla bicara panjang lebar, dia terlihat menggemaskan. Apalagi kalau ditambahin dengan,

"Dih! Mas sahutin kek."

Iya, gue suka ketika dia protes karena gue hanya terdiam.

"Mas mau minum kopi?" tanyanya kemudian.

Gue menggeleng.

"Makan?"

Gue masih tidak mengeluarkan suara selain gerakan kepala.

"Terus maunya apa?"

"Kamu," goda gue yang membuatnya tersipu.

Meskipun gue pendiam, tapi gue masih bisa kok mengerjai orang.

Isla masih memerah. Rasanya ingin sekali gue mencium pipinya yang kemerahan itu. Tapi niat gue masih tertahan karena, di minggu awal pernikahan ini gue dan Isla masih sama-sama beradaptasi tinggal bersama.

Dia terlihat lucu ketika mulai malu. Jadi gue juga masih membiarkan dia beradaptasi dulu, membiarkan kami mengalir.

Tapi teman-teman gue seperti Julian, Darwin, Samuel, dan Brin selalu bertanya hal yang kadang membuat gue ingin menendang mereka.

"Eh gimana lo bisa kan Dhit?"

"Lo jangan kasar-kasar Dhit."

"Biasanya berapa kali Dhit?"

"Yang di atas siapa?"

Itu adalah contoh obrolan sampah mereka akhir-akhir ini. Gue sampai pusing sendiri, gimana mau cerita unboxing aja belum. Lagi pula, ngapain juga gue cerita kayak gitu  ke lo semua anjir?! Penting banget?!

"Aku mau masak sup. Nanti makan sup gak papa Mas?"

Gue mengangguk, kemudian menunggui Isla memasak. Setengah jam kemudian supnya matang dan dia menaruhnya di hadapan gue. Dengan cepat Isla mengambilkan gue nasi di piring dan mangkuk kosong untuk sup. Isla tahu, gue kurang menyukai nasi yang di campur dengan sayur.

"Kamu mana?" Gue akhirnya bersuara.

"Udah kenyang. Mas aja yang makan," jawabnya yang duduk di sebelah gue.

Gue kemudian meniupi sup yang ada di sendok gue dan mengarahkannya ke Isla.

"Apa?" tanyanya.

"Ak," suruh gue.

Isla menurut dan menerima suapan dari gue. Gue tidak tahan untuk terkekeh pelan.

"Aku bisa sendiri tau Mas," katanya yang akhirnya mengambil piring sendiri.

Gue tersenyum puas karena paksaan halus gue berhasil.

"Aku tuh sebenernya masih kenyang Mas,"

Gue hanya mengangguk. Setelahnya hanya ada suara Isla yang berbicara di ruangan ini.

"Kenyang banget..." Keluhnya ketika kami selesai makan, Isla tanpa malu bersandar di kursinya dan mengusap-usap perutnya. Wajahnya kelihatan konyol sambil menepuk-nepuk perutnya. Gue yang gemas tiba-tiba ikut menepuk pelan perutnya dan membuatnya kaget.

"Eh? Main nepuk-nepuk aja," cibirnya.

Gue terkekeh pelan sambil menatapnya dengan tangan gue di atas meja yang menyangga kepala.

"Sekarang malah liat-liat?" Gue tau dia sedang mengajak bercanda.

"Gak boleh?"

"Gak boleh, kalau belum nyuci piring."

"Mau liatin kamu dulu."

Isla dengan lucunya menutup wajahnya dengan kedua tangannya agar gue tidak dapat melihat wajahnya.

"Biar gak bisa liat," katanya.

"Yaudah aku cuci piring."

Ketika mendengarnya Isla segera menurunkan tangannya sambil tersenyum lebar. Gue mengambil kesempatan itu untuk segera memajukan diri dan mengecup bibirnya singkat.

Isla terdiam wajahnya memerah. Ya Tuhan, gimana bisa aneh-aneh sama Isla? Dicium singkat aja wajahnya memerah malu?

"Isla," panggil gue.

"Hm?" Dia menjawab singkat dengan wajah malu-malunya.

"Aku sayang sama kamu."

Itu adalah ungkapan perasaan gue yang pertama kali.

Ya, sebelumnya kami kan menikah dengan dasar mau saling menerima satu sama lain, dan merasa cocok saja.

Isla terdiam.

Gue berharap dia juga akan menjawab perasaan gue dengan jawaban serupa. Tapi mengingat Isla sebelumnya belum pernah berpacaran, gue jadi ragu apakah dia paham maksud gue atau tidak.

"Kata lainnya cinta. Tapi aku lebih suka kata sayang, biar enggak bikin geli," terang gue panjang.

Isla terlihat melipat bibirnya ke dalam. Dia kelihatan malu ingin menjawab.

"Eum... Kalau aku suka. Suka sama Mas Radhit."

Gue tersenyum lebar di sertai debaran di sana.

"Aku juga suka Isla."

Isla keliatan menyentuh dadanya. "Aduh Mas. Aku jadi deg-degan."

***


Ini draft terakhir. Habis ini gak tau kapan update lagi. Soalnya draft yang ada ini dibuat waktu hari minggu wkwkw.

Soundless HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang