3. Sedikit Cerita Tentang Mas Radhit

135K 14.7K 623
                                    

Mas Radhit jarang sekali mengajakku keluar. Dia sangat amat kurang inisiatif. Mas Radhit baru akan menawarkan dirinya untuk pergi keluar denganku, kalau aku meminta izin untuk pergi keluar rumah di luar jam kerja entah itu berbelanja atau menemui teman.

Sementara ketika dia izin pergi bertemu teman atau main, Mas Radhit belum pernah mengajakku. Awalnya aku biasa saja, tapi makin kesini aku penasaran dan ingin ikut. Tapi aku tidak pernah berani mengutarakan niatku. Aku takut dia malah terganggu dengan adanya aku.

Hari ini hari sabtu, Mas Radhit tadi pagi bilang dia akan ke arena pacuan kuda bersama teman-teman. Dan sekarang ini dia sedang bersiap untuk pergi. Di luar rumah tesla hitam kesayangannya sudah siap untuk membelah jalanan kota. Sementara itu aku termenung di ruang tamu sendirian sambil menatap ke arah mobil hitam Mas Radhit.

Kok bisa ya, dia ninggalin aku di rumah seorang diri, sementara dia pergi bersenang-senang bersama teman-temannya? Kenapa dia bisa sampai hati?

Aku memijit keningku pelan, Mas Radhit memang species langka.

"Aku pergi dulu," suara halusnya membuatku tersadar dari lamunanku.

"Iya Mas hati-hati. Balik jam berapa?" Aku berdiri dari dudukku lalu berjalan mengikutinya ke arah teras.

"Sebelum jam 3."

"Oke."

"Oh iya, aku enggak masak. Mas makan di luar aja sekalian ya? Aku nanti order sendiri." Sebenarnya sejak tadi Mas Radhit izin untuk berkuda, mood untuk memasakku langsung lenyap. Bahkan tadi pagi Mas Radhit hanya aku beri semangkuk yoghurt outmeal dengan irisan pisang serta buah berry, sarapan yang tidak lazim aku sediakan untuknya. Untungnya Mas Radhit diam dan tidak protes. Sifat pendiamnya pagi tadi lumayan berguna bagiku. Setidaknya aku tidak akan marah-marah pagi tadi.

"Ya," jawabnya singkat kemudian mendekat dan mencium keningku sekilas. Jujur itu terasa manis dan mengurangi perasaan kesalku.

Seperginya Mas Radhit, aku hanya tiduran di sofa ruang TV sambil menonton series netflix. Seharian aku meringkuk di sofa. Aku benar-benar malas untuk melakukan apapun. Waktu bergulir dengan cepat, sekarang jam menunjukkan pukul 02.30. Deru mobil Mas Radhit terdengar, namun aku tidak beranjak dari tempatku.

"Isla," panggilnya yang melihatku meringkuk di sofa.

Aku bangkit dengan rambut acak-acakan. "Ya Mas? Udah balik?" tanyaku.

"Ada temenku," ujarnya kalem.

"Oh?" aku buru-buru merapikan rambutku.

"Di depan?" tanyaku.

Mas Radhit mengangguk dan menungguku berjalan bersamanya. Di ruang tamu, duduk beberapa orang yang asing bagiku. Aku tidak pernah mengenal teman Mas Radhit selain teman kuliahnya, dan Mas Radhit juga enggak pernah mencoba mengenalkan aku dengan mereka.

"Temennya Mas Radhit?" sapaku kepada 5 laki-laki dan 1 perempuan itu.

"Lo punya istri jangan di umpetin terus Dit!" seru seseorang di antara mereka.

Mas Radhit hanya diam dan menarikku pelan agar duduk di sebelahnya.

"Kita temen SMAnya si kampret. Biasa kita olahraga bareng, atau nongkrong bareng. Enggak sering juga sebenernya, soalnya suami lo itu kayak orang penting, sibuk banget," Terang salah satu diantara mereka.

"Dit, besok tuh punya istri diajak main-main keluar! Jangan dikekepin di dalem rumah terus," sambung yang lain.

"Oh iya, aku buat minum dulu ya," pamitku.

"Gue bantu ya?" perempuan tadi mengajukan diri.

"Oh iya boleh." Aku mengiyakan.

Kemudian aku mengajak ke dapur rumah kami untuk membuat teh.

"Oh iya, gue Oliv." Dia memperkenalkan diri.

"Isla," jawabku sambil menerima tangannya.

"Temen SMA Mas Radhit juga?" lanjutku.

"Iya, kebetulan gue nikah sama Julian. Jadi kenal juga sama Radhit, temen nongkrongnya Julian."

"Kalian sering ya pergi main bareng gitu?" tanyaku polos.

Oliv menyipitkan mata. "Kurang tau La, gue sama Julian baru pindah ke sini seminggu yang lalu. Jadi baru gabung anak-anak hari ini."

"Tapi kayaknya mereka emang sering pergi berempat. Dulu mereka terkenal gara-gara jomblo semua. Malah ada yang bilang mereka belok semua, kalau nongkrong enggak pernah ada cewek. Untung sekarang Radhit nikah, jadi stigma orang sedikit berubah." Oliv tertawa.

Oh jadi, memang Mas Radhit enggak pernah ngajak aku karena teman-temannya jomblo semua?

Setelah mengantar teh, Oliv kembali mengajakku ngobrol berdua di teras depan rumah.

"Rumah sebesar ini cuma ditinggalin berdua, apa enggak sepi banget?"

"Ya sepi, apalagi Mas Radhit orangnya diem banget."

"Minta pindah aja. Apartemen si Radhit banyak tuh."

"Mas Radhit dari SMA pendiem gitu ya?" tanyaku penasaran.

"Iya. Kalau orang enggak kenal dikira sombong. Dia kan gak pernah mau nyapa orang, palingan cuma dilihatin doang. Kalau udah kenal ya lama-lama paham, dia bicaranya irit tapi baik. Dia dulu jadi ketua kelas kita selama 3 tahun loh!"

Waw? Mas Radhit yang diem itu jadi ketua? Apa enggak berantakan kelasnya?

"Tapikan dia diem banget?"

"Yang penting tanggung jawabnya. Dia memang pendiem, tapi dia perhatian sama temen-temennya."

Bener sih, Mas Radhit dulu juga terkenal perhatian sama temen-temen yang satu kepanitiaan. Meskipun dia pendiem, dia bakalan bantu sebisa dia.

"Dulu sama pacarnya juga pendiem?"

"Sama aja. Dia dulu beberapa kali pacaran, tapi dia selalu diputusin duluan. Pada gak betah mereka pacaran sama Radhit, terlalu pendiem."

Aku mengangguk. Ternyata dia sama aja sama semua orang. Mau sama teman, keluar, bahkan sama istrinya.

"Tapi kayaknya Radhit tipe ceweknya gak berubah dari dulu. Dia dulu kalau pacaran pasti sama anak-anak kalem yang enggak banyak tingkah. Kata Julian, lo juga gitu?"

Loh? Siapa bilang aku kalem? Padahal Mas Radhit juga tau dulu lumayan berisik ketika bersama teman-temanku. Tapi untuk masalah banyak tingkah, mungkin aku setuju. Selama kuliah aku tergolong mahasiswa yang lurus.

"Mas Radhit cerita-cerita?"

"Enggak mungkin Radhit cerita-cerita. Harus ditanya dulu suamimu itu."

"Yuk balik," seorang laki-laki berjalan menemui kami di teras. Kemudian disusul teman Mas Radhit yang lain keluar dari rumah.

"Kita balik dulu ya," pamit yang lainnya.

"Radhit, besok istri lo diajak aja. Ada Oliv kan sekarang, jadi gausah takut istri lo enggak ada temen." Sepertinya itu suami Oliv.

"Hmm..." itu respon Mas Radhit.

"Gantian main ke apartemen kita dong. Mumpung baru pindah nih," pinta Oliv. Aku tidak menjawab dan memilih menatap Mas Radhit, kan aku bukan temannya jadi biar Mas Radhit aja yang menetukan.

"Iya." Mas Radhit menjawab singkat.

Mobil teman-teman Mas Radhit mulai menghilang. Setelah menutup gerbang, Mas Radhit berjalan ke arah mobilnya dan mengambil paper bag yang bertuliskan sebuah brand restoran.

"Ini," Dia memberikannya padaku.

"Mas belum makan siang?" tanyaku.

"Belum," jawabnya singkat.

"Bohong, mana mungkin sama temen-temennya enggak makan."

"Lagian Mas enggak malu apa? Bawa pulang kayak gini? Biasanya kan cowok gengsian."

"Enggak."

"Mas, jawabnya jangan cuma satu kata bisa enggak sih? Ngomong kayak begini enggak dipungut biaya Mas!" seruku.

"Iya."




Soundless HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang