26. First Date On Valentine 🎁

111K 11.4K 697
                                    

Ketika teman-temanku bercerita tentang hari valentine versi mereka, aku biasanya hanya bisa mendengarkan saja. Menurutku tradisi itu terlihat mainstream, cheesy, alay. Kamu kan dulu jomblo 26 tahun Isla!

Mungkin karena efek iri dan dengki juga sih.

Ketika teman-temanku mulai memamerkan apa yang diberikan atau dilakukan pacarnya, dalam hati aku akan membatin.

"Kan cuma cokelat bentuk hati?"

"Bukannya kalian sering makan bareng ya?"

"Padahal bulan kemarin juga dapet hadiah. Apa yang special?"

Kira-kira seperti itu respon seorang Isla Narabeel, jomblo 26 tahun.

Aku rasanya seperti termakan oleh omonganku sendiri. Sekarang aku sedang melihat pantulan diriku di cermin dengan balutan dress warna pink yang diberikan Mas Radhit. Pipiku memerah ketika mengingat bahwa dress itu sengaja Mas Radhit belikan untuk hari ini.

Mas Radhit menyebutnya first date kami.

Rasanya senang sekali. Aku ingin berputar-putar sambil bernyanyi saking senangnya.

"Isla?" panggil Mas Radhit.

"Iya? Bentar Mas," kataku yang kemudian segera berdiri dan mengambil hand bag-ku lalu keluar menyusulnya.

Mas Radhit tersenyum jahil. Sepertinya dia tahu kalau aku kelewat senang. Padahal kemarin aku baru saja marah padanya karena tidak segera membawaku pulang dari rumah sakit. Untung saja Mas Radhit benar-benar menepati janjinya untuk membawaku pulang hari ini.

"Mas. Ada perban di kepala aku, Mas enggak malu kan? bawa aku pergi jalan?" tanyaku memastikan.

Mas Radhit hanya tersenyum sambil menggandeng tanganku lembut, menuruni tangga rumah. Mas Radhit terlihat rapi dengan pakaian serba hitamnya, yang membuatnya kelihatan elegan dan mahal seperti biasa.

Emang kapan sih Mas Radhit enggak kelihatan mahal? Liat dia pakai celana pendek aja aura sultannya udah menguar.

Tesla kesayangan Mas Radhit membawaku ke sebuah restoran seperti malam ini banyak dipesan untuk fine dining, yang ada di salah satu hotel bintang lima. Restoran dengan arsitektur nouveau art ini, ketika aku masuk ke dalamnya rasanya seperti menginjakkan kaki tanah eropa. Ceilings yang tinggi tak luput dari mataku karena desainnya yang menawan.

Mas Radhit menarikkan kursi untukku. Sementara aku masih menggedarkan pandangan, Mas Radhit terlihat tenang di hadapanku.

Aku kampungan enggak ya?

Di depan mataku sudah tersusun berbagai macam sendok dan teman-teman. Akhirnya kelas table manners yang aku ikuti ketika masih berkuliah bisa aku praktekkan.

Aku pikir, dulu itu adalah pengalaman pertama dan terakhir.

"Kamu suka?" Mas Radhit akhirnya bertanya.

Aku mengangguk penuh semangat. "Banget. Aku enggak tau kalau ada tempat kayak gini."

Mas Radhit tersenyum lagi.

Tak lama pelayan datang, dan kami akhirnya memulai sesi makan malam kami, dengan aku yang banyak bicara.

Enggak heran kan kenapanya?

Ya sudah jelas. Mas Radhit hanya akan tersenyum, mengangguk, dan menatapku. Mas Radhit sangat tenang, sementara aku terlihat antusias me-review first impression terhadap restoran ini.

Etikanya yang seharusnya, aku harus bicara dengan sopan dan lembut sehingga menunjukkan sisi classy seorang perempuan. Tapi buatku aneh, berlagak mengangkat segala sesuatu dengan gerakan yang sengaja dianggun-anggunkan. Toh meskipun aku menjadi Isla yang biasanya, aku juga tetap dalam kategori perempuan sopan dan lembut kok —hanya tidak terlihat seperti perempuan mahal dan classy seperti tetangga sebelah rumahku saja.

Soundless HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang