30. Excited

94.3K 11.3K 339
                                    

Hari ini aku benar-benar melelahkan. Dari pagi hingga sore aku dimasukkan ke dalam meeting. Kalau meetingnya di kantor, aku oke-oke saja. Namun meeting hari ini aku harus pindah dari gedung satu ke gedung yang lain. Meskipun aku mendapat kelonggaran untuk meninggalkan kantor jam 03.00 sore, tapi tetap saja lelah.

Sebelumnya aku sudah mengabari Mas Radhit kalau aku pulang duluan, sehingga dia tidak perlu menjemputku. Setelah sampai di rumah dan membersihkan diri, aku kemudian membaringkan diriku di sofa ruang TV sambil menunggu Mas Radhit pulang.

Mas Radhit pulang dengan wajah yang penuh binar bahagia. Sedari masuk rumah, senyumnya terus mengembang. Sepertinya dia sedang senang sekali hari ini. Melihat Mas Radhit yang terlihat cerah, aku menjadi lupa dengan lelahku. Perasan lelahku tiba-tiba berubah menjadi rasa penasaran.

Mas Radhit seneng kenapa ya?

"Jangan tidur dulu," katanya.

"Aku mau kasih tau sesuatu," lanjutnya.

"Penasaran. Mas enggak aneh-aneh kan?"

Dia terkekeh pelan. "Aku habis beli sesuatu."

Oke... Isla... Kamu enggak boleh marah kalau Mas Radhit beli sesuatu yang aneh oke?

Tapi pikiranku tetap membayangkan hal-hal diluar nalar yang kemungkinan dilakukan Mas Radhit. Ya mengingat track recordnya yang hampir mau beli lapangan futsal, beli apartemen dengan santainya, beli kuda seperti beli kambing.

Hari ini apa lagi?

Aku menunggu Mas Radhit membersihkan diri. Tak lama dia muncul, kemudian Mas Radhit bergegas membuka tas kerjanya. Dia mengeluarkan beberapa buku dari dalam tasnya lalu mendekat ke tempatku duduk.

Masih dengan senyum lebarnya, Mas Radhit menaruh buku itu di pangkuanku.

Anti Panik Mengasuh Bayi 0-3 Tahun

Panduan Lengkap Merawat Bayi

Panduan Lengkap untuk Ibu Hamil

Guide to Childbirth

What to Expect When You’re Expecting

Aku melongo beberapa detik. Seriously? Mas Radhit beli buku semacam ini?

Wow...

Beneran dia mau jadi calon Papa yang tanggap rupanya.

"Mas?"

Mas Radhit tersenyum lebar, seakan bangga dengan buku yang dia pamerkan padaku.

"Mas beli ini sendiri?"

"Iya."

"Wow. Aku kaget. Aku aja enggak kepikiran buat beli buku kayak gini. Soalnya Mama aku sama Mamanya Mas, ditambah Mbak Gani sering bawelin aku di chat."

"Kita harus banyak belajar Isla."

Hmmm. Iya sih.

"Ini bagus buat persiapan melahirkan. Yang ini bagus buat parenting. Ini bagus supaya kita tau harus ngapain aja." Mas Radhit terlihat berapi-api menjelaskannya padaku, sekilas sifat kalemnya terlihat luntur karena yang aku lihat sekarang adalah Mas Radhit yang sangat bersemangat.

Aku mengangguk mendengarkannya. Dia kemudian melanjutkan. "Supaya enggak kaget dan punya persiapan Isla. Karena ini anak pertama kita. Kita banyak nggak taunya. Jadi aku juga harus siapin matang-matang gimana caranya mengasuh anak."

"Yang baca aku semua Mas?"

"Aku juga," jawabnya.

"Kenapa Mas kepikiran beli buku kehamilan? Mas enggak malu gitu ditanyain temen kantor."

"Aku mau belajar. Kenapa harus malu?"

Aku tersenyum. "Mas seneng banget ya?"

Mas Radhit mengangguk sambil menumpuk buku-buku itu kembali.

"Nanti kita belajar bareng."

Senyumku mengembang. Kalimatnya terdengar hangat sekali.

"Mas," panggilku.

"Mas seneng mau punya anak?"

"Ya seneng."

"Senengnya gimana?"

Dia mengeryitkan dahi. "Seneng suka, bahagia."

"Mas enggak takut apa disuruh gendong bayi, gantiin popok, kebangun malem-malem anak nangis."

"Aku malah nungguin."

Mas Radhit itu sebenarnya sejak aku ketahuan hamil, menurutku dia terlihat lebih komunikatif. Meskipun hanya sedikit, tapi terkadang aku bisa merasakan perbedaannya.

Mamaku pernah bilang, enggak apa-apa Mas Radhit pendiam, jarang bicara, dan terkesan harus banget kita yang bertanya duluan, barangkali dia bisa berubah setelah punya anak. Mungkin Mama ada benarnya, Mas Radhit bisa berubah atau setidaknya sedikit berubah karena punya anak.

"Mas, nanti anaknya jangan didiemin," kataku.

Mas Radhit menatapku lembut, kemudian menyingkirkan buku itu dan menaruhnya ke nakas sebelah tempat tidur. "Pelan-pelan aku coba ya?"

"Pokoknya Mas Radhit harus sering ngajak bicara anak kita. Aku enggak mau ya kalau anak kita sama pendiemnya kayak Mas Radhit. Aku mau rumahnya rame."

"Iya Isla," responnya dengan mengusap rambutku.

"By the way, aku suka Mas Radhit vibesnya jadi ceria banget."

"Aku juga bingung. Aku semangat banget rasanya," ungkapnya.

Aku mengusap perutku yang cenderung masih rata. Aku jadi tertular perasan senang Mas Radhit. Membayangkan hari-hari ke depan rasanya terlihat menyenangkan.

Tanganku kemudian menggenggam tangan Mas Radhit. "Makasih Mas Radhit."

"Aku jadi ikutan ketularan moodnya Mas. Tadi aku lagi capek banget, lihat Mas yang kelihatan seneng aku jadi lupa capeknya. Ajaib ya?"

Mas Radhit melebarkan tangannya, kemudian memelukku gemas. Dapat aku rasakan hidungnya digesek-gesekkan ke rambutku, lalu diciuminya beberapa kali. Ketika Mas Radhit mengurai jarak kami, dia kemudian menunduk didepan perutku, tangannya mengusap perut datarku dan berkata sesuatu yang seolah berhasil menciptakan persaan hangat.

"Ayah sayang kamu sama Mama kamu."

Ayah.

Sepertinya Mas Radhit mau dipanggil Ayah.

***

Ini kayak 30 days writing challenge rasanya. Melihat cerita ini bisa tembus 30 chapters dalam 30 hari, harapannya cerita Citra Gading Ramadhan version berhasil juga aku kerjain seperti ini.

Soundless HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang