80. New Insight

37.8K 4.3K 121
                                    

Hari ini aku sengaja membuat rencana untuk Mas Radhit. Karena minggu ini berat sekali, jadi mumpung weekend aku mengajaknya pergi menjenguk kesayangannya yang lain.

Bisa ditebak siapa kan?

Charles dan Anisa! Sebenarnya dua minggu yang lalu aku dan Mas Radhit juga pergi menjenguk dua kuda itu, tapi kali ini aku duluan yang mengajaknya.

Sebelumnya aku juga mengajak teman Mas Radhit seperti Darwin, Brin, dan Julian. Mereka harus punya waktu bersenang-senang bersama di luar kantor. Aku yakin sekali mereka sudah jarang hang out bersama karena sibuknya pekerjaan di kantor. Padahal dulu waktu aku dan Mas Radhit baru menikah, Mas Radhit ini kalau weekend rajin keluyuran bersama teman-temannya.

"Kamu ajak mereka?" Mas Radhit menatap Darwin, Brin, Julian, dan Oliv yang sedang duduk di teras restoran, dengan tatapan malasnya. Brin melambaikan tangan ke arah kami dari kursinya sambil mengangkat cangkir putih dari meja. Sementara yang lain hanya menatap dari kejauhan.

Jadi stal kuda tempat di mana Charles dan Anisa tinggal itu tergabung di dalam resort yang memiliki fasilitas lengkap. Selain berkuda, kita bisa menginap atau hanya sekedar makan dengan pemandangan hijau. Cocok untuk family outing. Untuk aku yang tidak ikut kuda, aku bisa memilih duduk di cafe, atau menggelar tikar di bawah pohon rindang.

"Nggak telat kan?" sapaku kepada teman-teman Mas Radhit.

"Baru juga nempel ini kursi kok," jawab Brin.

Mas Radhit hanya mendekat sejenak untuk setor muka, kemudian masuk ke dalam cafe. Aku bilang tadi mau latte, jadi Mas Radhit langsung paham.

"Kantor sibuk banget, kalian baik kan?" tanyaku.

"Gue masih sanggup nyetir ke sini berarti masih baik, sih. Gatau kalau besok Senin." Darwin bicara dengan nada mengeluh.

"Mereka lagi pada pusing semua, La," cerita Oliv.

"Yang penting pada jaga kesehatan dan kewarasan aja," sambung Julian.

"Kalau boleh tanya..." Jujur aku ragu ingin bertanya, tapi aku penasaran juga. "Mas Radhit akhir-akhir ini gimana di kantor?"

Mengingat kalau pulang wajahnya seperti kertas lecek dan nggak bersemangat, tentunya aku mau tahu lebih jauh sebenernya di kantor ada apa aja sih?

Darwin menghela napas, kemudian menjawab sambil melepas kacamata hitamnya, "Akhir-akhir ini... Dia banyak diem."

"Dia kan emang diem terus!" seru Brin.

"Kalau dia nggak diem kayaknya kita yang panik," sambung Julian.

"Kalau lagi pada pusing gara-gara kerjaan, kalian nggak saling berantem kan?" tanya gue lagi.

"Berantem dikit, tapi habis itu ya udah. Ditinggal nyebat baikan lagi," jawab Julian sambil melipat tangan dan menyadarkan tubuhnya ke kursi.

"Kayaknya ada yang khawatir banget nih sama suaminya?" tebak Brin yang membuat gue tersenyum canggung.

"Tenang aja, aman terkendali mah kalau Radhit. Meskipun kadang kayak cewek lagi ngambek kalau lagi marah. Ditanyain apa aja malah tutup mulut," sambung Darwin.

"Mending tutup mulut. Daripada dia nutup pintu kantornya supaya nggak ada yang bisa masuk. Kan pada bingung gimana mau konsultasi," sambung Brin.

"Ya itu sih terjadi ke elo aja. Soalnya lo bebal kalau dikasih ngerti," sahut Julian.

"Makasih," kataku saat Mas Radhit datang dengan latte yang aku mau.

"Yuk mau berapa puteran?" tanya Darwin tiba-tiba.

Soundless HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang