20. Berulah Lagi

101K 12K 234
                                    

Aku tengah duduk di tempat tidur kamar sambil menonton TV super besar yang baru di ganti Mas Radhit seminggu yang lalu. Mas Radhit di sampingku terlihat sedang mengerjakan sesuatu.

Tenang. Dia tidak sedang mengamati stroller bayi seperti kemarin kok. Kali ini dia sedang bekerja.

Dering suara panggilan terdengar dari smartphone Mas Radhit. Mas Radhit terlihat enggan mendekatkan beda itu, dia hanya memasang mode loud speaker.

"Dhit! Lo jadi beli Charles nggak? Sama pemiliknya dijual!" suara Darwin terdengar bersemangat.

Charles?

Hmmm apalagi ini Mas?

Mas Radhit kemudian menatapku aneh. Dia terlihat seperti seseorang yang baru saja tertangkap basah melakukan suatu perbuatan yang salah.

"Dhit?"

Mas Radhit akhirnya mengubah mode telepon menjadi normal dan mendekatkannya ke telinganya.

"Nanti gue telpon lagi."

"Buruan lo bayar. Keburu diambil Sean!"

Tapi meskipun sudah tidak di loud speaker, aku masih bisa mendengarnya dengan jelas.

"Gue tutup," kata Mas Radhit akhirnya.

"Buruan dibayar Mas, keburu diambil Sean." Aku mengulang kata-kata Darwin.

"Isla..."

"Apa..."

Mas Radhit malah diam sambil menatapku. Dia berusaha memohon agar memahaminya.

"Apa Mas Radhit?" tanyaku halus.

"Beneran aku enggak marah Mas," lanjutku.

Mas Radhit terlihat menghela nafas. "Besok ikut aku ya?"

"Giliran ketawan aja baru ngajakin. Coba enggak ketawan. Pasti diem aja," cibirku.

Mas Radhit menutup laptopnya lalu meletakkan di nakas sebelah tempat tidurnya. Aku mencoba tetap fokus pada acara TV ku, tapi Mas Radhit yang tiba-tiba memelukku dari samping mengalihkan fokusku.

"Apa lagi Mas?"

"Maaf Isla."

"Hmm."

"Kesel?"

"Gak tau."

"Jangan kesel."

"Aku bingung. Aku tau sih, Mas mau ngapain aja juga pakai uang Mas sendiri. Tapi kadang aku ngerasa jadi patung doang karena gak tau apa-apa, semua tiba-tiba. Tiba-tiba ada TV baru. Tiba-tiba ada sepeda baru. Tiba-tiba Mas ganti sofa baru. Aku kan mau tau juga! Aku mau ditanya gimananya! Emang gak boleh ya?" Aku menatapnya dengan yang amat sangat dekat karena posisinya tengah memelukku.

"Apa?! Awas ya motong omongan aku pakek cium-cium!" Aku nemberi Mas Radhit peringatan.

"Aku gak pernah tau kalau aku gak nanya. Mas juga diem aja kalau gak ditanya. Sebenarnya salah gak sih aku mempertanyakan hal kayak gini? Salah ya aku pengen tau Mas itu ngerencanain apa, mau beli apa."

"Salah Mas? Kalau gak boleh yaudah mulai sekarang aku enggak bakal tanya-tanya apa-apa lagi kalau Mas Radhit tiba-tiba ngeganti perabot rumah, atau beli sesuatu lainnya."

"Maaf. Besok aku bilang dulu," ujarnya yang masih memelukku dari samping. Kemudian dia mengecup pipiku sekilas.

***

Besoknya Mas Radhit mengajakku pergi entah ke mana. Dan untuk yang pertama kalinya Mas Radhit mengantar dan menjemputkku di kantor. Mas Radhit mengendarai mobilnya menuju pinggiran kota.

Soundless HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang