31. Harus Mengikhlaskan

379 77 15
                                    

Beberapa kesalahan lebih baik diikhlaskan, dari pada memaksa memaafkan.

•••

"Ti, aku boleh minta waktu kamu sebentar?"

Tiara mengalihkan pandangannya pada Anrez. Ditatapnya lekat laki-laki yang sejujurnya, ia rindukan selama beberapa hari belakangan.

Ia berdiri dari kursi kerjanya kemudian berjalan ke arah sofa. "Mau ngomong, 'kan? Silahkan."

Anrez menyunggingkan senyumnya lalu ikut mendudukkan tubuhnya tepat di hadapan Tiara. Ia menarik napasnya, menetralkan detak jantungnya yang berpacu lebih cepat. Lagi-lagi kegelisahan itu datang kepadanya.

"Ti, aku udah tau yang sebenernya. Aku benar-benar minta maaf sama kamu. Maaf aku udah kasar sama kamu, udah bentak kamu, maaf udah emosi malam itu, maaf aku udah gak percaya sama kamu, maaf—"

"Aku maafin kok."

"Hm?" Anrez menatap tak percaya ke arah Tiara. Dengan mudahnya Tiara memaafkan kesalahan besarnya malam itu.

"Aku udah maafin kamu," ulang Tiara.

"Lalu... kita gimana?"

"Kita?"

Tiara tersenyum tipis. "Aku maafin kamu. Tapi tolong, hargai pilihan aku."

"Maksudnya? Kenapa, Ti? Aku nyesel, Tiara. Biar aku perbaiki semuanya," balas Anrez. Napasnya seolah tercekat mendengar kalimat dari Tiara.

"Aku tau, tapi aku minta tolong sama kamu sekali lagi, hargai pilihan aku."

Anrez menggeleng. "Enggak, Tiara. Kenapa? Kenapa kamu pergi? Kita bisa perbaiki sama-sama, Ti. Aku mohon..."

"Bukannya kamu yang ngomong kalau kita selesai? Itu artinya kamu ngelepas aku, 'kan?"

"Aku tarik semua ucapan aku!" ucap Anrez.

"Gak semudah itu, Anrez! Semua kalimat dan perlakuan kamu malam itu, aku masih inget semuanya. Kamu yang bilang sendiri kalau kita selesai, kamu juga yang bilang sendiri kalau aku gak pantes buat kamu," jawab Tiara yang sudah menangis. Ia tak kuat kalau harus menahan air matanya agar tidak turun di depan Anrez.

"Kenapa kamu gak ngebela diri sih, Ti, malam itu? Kenapa kamu gak ngomong sama sekali?" tanya Anrez.

Tiara tersenyum miring. "Kamu lupa? Kamu yang gak kasih aku kesempatan sama sekali buat ngomong. Kamu yang panas duluan, marah-marah, bentak-bentak aku, ngelempar aku pake foto yang gak jelas dari mana asalnya."

"Kamu yang suruh aku pergi, Anrez. Kamu sendiri yang bilang itu semua ke aku. Bukan soal fakta dari foto itu, tapi ini soal kamu. Kenapa kamu gak bisa sabar sedikit aja dan kasih kesempatan ke aku buat ngejelasin semuanya sih?"

"Dia berhasil, Anrez. Dia berhasil bikin hubungan kita rusak. Dia berhasil provokasi kamu. Dia berhasil, sangat berhasil." Tiara menghentikan ucapannya seraya menatap lekat laki-laki di hadapannya yang sudah menundukkan kepalanya.

Rasa sesal dan sakit di dada Anrez, semakin mendesak hatinya. Bukan ini yang ia mau. Bukan ini hasil yang Anrez mau saat berbicara dengan Tiara. Sungguh, ini sangat jauh dari harapannya.

"Aku sayang kamu, Ti..."

Tiara tersenyum manis walaupun air matanya masih mengalir membasahi pipinya. "Aku yakin kamu bisa bahagia meskipun bukan sama aku."

Anrez terdiam tak berkutik sedikit pun dengan tatapannya yang masih terkunci pada gadis cantik di depannya. Tiara benar-benar ingin pergi dari hidupnya.

Napasnya seolah-olah tercekat, ia seakan kehabisan pasokan oksigen di ruangan Tiara. Lagi-lagi Anrez dan Tiara harus jauh. Gadis itu seolah membangun benteng tak kasat mata sehingga dirinya tidak bisa menjangkau Tiara.

Chance ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang