32. Usaha Anrez

367 78 17
                                    

Mauku kita bisa saling pengertian, bukan menyalahkan.

•••

Setelah selesai makan malam, Tiara melangkahkan kakinya menuju balkon apartemennya dengan cangkir berisi coklat panas di tangannya.

Keadaannya sama persis dengan Anrez. Ia hancur, lemah, hatinya sakit. Setetes air mata turun dari kedua matanya saat mengingat percakapannya dengan Anrez tadi.

Sejujurnya, berat bagi Tiara untuk melepaskan sosok yang selama ini menjadi penguatnya. Ingin rasanya ia kembali ke masa lalu, kemudian memperbaiki hal yang salah agar sekarang hubungan mereka masih baik-baik saja.

Hubungannya dengan Anrez harus selesai tidak pernah terbesit di dalam otaknya. Bahkan alasan mereka harus selesai seperti ini. Hanya karena salah paham.

Nyatanya, salah paham dapat membuat semuanya menjadi runyam. Bukan ini yang Tiara harapkan dari hubungan keduanya. Ia selalu berharap baik dirinya atau Anrez, mereka bisa saling mengerti dan percaya, bisa selalu senantiasa saling mendengarkan satu sama lain.

Tapi sayangnya, harapannya hanya menjadi harapan semu. Ia selalu belajar agar hubungannya dengan Anrez selalu baik-baik saja. Tapi cowok itu, Anrez tidak pernah belajar darinya.

Tiara menghapus air mata yang membasahi pipinya dengan kasar. Merasa kalau terus-terusan ia menangis, tidak akan ada beresnya. Tiara mengambil napasnya panjang, menetralkan emosinya.

"Lemah banget sih, Ti. Lo bisa, 'kan? Selama bertahun-tahun lo gak sama Anrez, bisa kok. Kali ini harus bisa juga. Semangat," ucap Tiara pada dirinya sendiri.

Ceklek

Tiara menghapus sisa-sisa air mata di pipinya ketika pintu unit apartemennya tiba-tiba terbuka. Ia masuk ke dalam lalu berjalan ke arah Bintang.

"Abang kalau masuk suka tiba-tiba, ih. Titi kaget tau," protes Tiara.

Bintang terkekeh pelan. Ditatapnya lekat-lekat wajah cantik milik adiknya. Terlihat di sana mata sembab yang tercetak jelas. Pasti adiknya ini habis menangis, Bintang yakin itu.

Tangan Bintang terulur mengelus pipi lembut Tiara. "Abis nangis, ya?"

Tiara menampakkan deretan giginya pada Bintang. "Yah, ketauan deh."

Bintang menarik lembut tangan Tiara duduk di sofa agar bisa lebih nyaman untuk mengobrol.

"Kenapa?"

Tiara menggeleng. "Gak apa-apa."

"Anrez, ya?" Tiara terkekeh mendengar pertanyaan yang terlontar dari Bintang.

"Memangnya siapa lagi kalau bukan dia?"

"Ti, Abang tau kamu sayang banget sama Anrez. Kamu mungkin gak mau harus ngerasain sakit lagi karena kamu kasih kesempatan untuk yang kedua kalinya buat Anrez."

"Tapi, Ti, ini maunya kamu, 'kan? Walaupun memang sebelumnya Anrez udah bilang itu sama kamu, di luar kesadaran dia, ini pilihan kamu," sambung Bintang dengan senyum manisnya.

Tiara menganggukkan kepalanya. "Titi cuman belum terbiasa aja, Abang. Titi cuman... belum bisa ikhlasin kejadian kemarin."

Bintang mengelus puncak kepala Tiara lembut. "Abang yakin kamu bisa. Kalau kamu sama Anrez jodoh, pasti bakal disatuin kok sama Allah. Seberapa jauh jarak membentang antara kamu sama Anrez, kalau jodoh, pasti bakal ada aja hal yang bikin kamu ketemu lagi sama Anrez."

Tiara menganggukkan kepalanya. "Iya, makasih, Abang." Ia menghambur ke dalam pelukan Bintang. Cowok itu tertawa pelan kemudian membalas pelukan Tiara.

Tak masalah jika Tiara bersikap manja padanya, asal Bintang bisa berada di samping adiknya disaat butuh.

Chance ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang