Bab 92 Keraguan

1.4K 66 0
                                    

Ibu Amel menyela. "Kamu dorong Amel kan?! Dasar anak nggak tau diri, gara-gara kamu sekarang Amel gagar otak! Hiks..."

Adinda seolah terpukul dengan kata-kata ibu Amel yang menyalahkan dirinya atas semua situasi ini. Ayah Amel yang melihatnya mencoba melerai. "ma sudahkah! Semua nggak akan selesai kalo cuma berantem!"

"Tapi dia celakain anak kita pa! Dia yang buat Amel celaka tau nggak!" Cetus mama Amel.

Ayah Amel berusaha merendam amarah Maman Amel dan mulai menanyakan satu persatu pada adinda yang masih bengong dengan tatapan kosong.

"Adinda... Lebih baik kamu jujur nak, berbohong tak akan menyelesaikan semuanya. Kenapa kamu dorong Amel sampai jatuh?" Ayah Amel berusaha membujuk Adinda agar jujur.

Tapi dipaksa seperti apa pun gak akan ada hasilnya karena memang adinda tak melakukan hal tersebut. Hatinya terlalu kacau saat ini untuk menjawab semua pertanyaan yang menyerbu nya.

"Din... Kamu kenapa? Coba jelaskan."

Adinda menjelaskan semuanya dengan nafas tersengal-sengal karena tangisan nya yang gak kunjung berhenti. Namun tetap saja tidak ada yang mempercayai nya, tak lama kemudian, ayah dan bunda Ben datang menghampiri Adinda.

Ayah berjalan dengan gagah dan menyela semua pembicaraan. "Maaf bukannya saya tak sopan. Tapi pembicaraan ini tak baik jika di teruskan, situasinya begitu tak mendukung. Mari kita bicarakan lagi dengan baik-baik setelah Adinda benar-benar tenang. Jika masih seperti ini, masalah juga tidak akan selesai."

Setelah beberapa menit berdiskusi dengan ayah Amel, akhirnya adinda dibawa pergi dulu untuk menenangkan diri terlebih dahulu. Bunda langsung merangkul adinda pergi dan mengajaknya menjauh terlebih dulu dari keramaian.

(◕ᴥ◕)

Adinda duduk di bangku panjang dengan sebotol air mineral ditangannya, tatapannya kosong, wajahnya pucat dan tanpa ekspresi membuat orang-orang khawatir.

Bunda mengelus punggung Adinda dan bertanya dengan lembut. "Adinda... Adinda gimana? Udah baikan?" Tanya bunda yang di balas anggukan adinda. "apa sih yang terjadi? Kok bisa sampai seperti ini?"

Adinda menjelaskan beberapa inti permalasahan nya pada bunda, bunda paham dan percaya kalau Adinda tak bersalah. Tapi orang lain perlu bukti, bukan omongan belaka.

Hari itu Adinda diberi jeda 1 hari untuk menenangkan diri, sedangkan Amel yang terkenal gegar otak ringan masih belum sadar. Sungguh keajaiban jika Amel hanya terkena gegar otak ringan.

(◕ᴥ◕)

Keesokan harinya.

Perkara semakin rumit, haru ini adinda harus datang ke sekolah mau tak mau. Ia harus kembali menghadap gitu BK untuk mengurus masalahnya. Panggilan ini benar-benar pribadi. Ben pun tak bisa menemaninya sampai dalam.

Adinda berhenti sejenak di depan pintu ruang BK. "Ya Allah... Kenapa ada aja cobaan nya, kenapa malah jadi kayak gini?!"

Cklekk...

Pintu terbuka, adinda masuk dan melihat beberapa wajah yang tampak tegang sedang menunggunya. Ada Bu Arum, orang tua Amel dan Ara.

Adinda kembali melihat sekali lagi untuk memastikan, matanya tak salah, itu memang Ara. Tapi apa yang Ara lakukan di sini?

"Masuk adinda... Duduk..."

Suara Bu Arum mempersilahkan adinda untuk duduk, adinda duduk dengan sopan, suasana semakin mencekam saat semua membahas masalah jatuhnya Amel.

"Saya nggak mau tau ya Bu, apapun yang terjadi pokonya pelaku yang mencelakakan anak saya harus di hukum, kalo perlu di keluarkan dari sekolah saja! Saya nggak rela anak saya 1 sekolah dengan pembunuh!" Ketus ibu Amel dengan ekor matanya mengarah ke Adinda.

Bu Arum mencoba meredam suasana. "Tenang Bu... Semua bisa dibicarakan baik-baik, jangan terlalu terburu-buru. Lagipula kita belum punya bukti kalau Amel memang di dorong.

"Ma jangan terlalu emosional!" bisik ayah Amel pada ibu Amel.

"Saya punya bukti! Ara lihat kejadian yang sebenernya. Ara saksinya, tak mungkin Ara kan berbohong. Lagipula dia kan anak pemegang saham sekolah ini, tak ada untungnya berbohong!" Bantah ibu Amel.

Adinda membelalakkan matanya tak percaya, ia merasa kalau sejak awal tak melihat Ara sama sekali sejak ada dilantai 2. Lalu bagaimana Ara bisa menjadi saksi?

Adinda refleks langsung berdiri, "bohong Bu; saya sejak awal nggak melihat Ara sama sekali. Bagaimana dia bisa jadi saksi? Itu bohong!" Adinda membantah.

"Diam kamu! Kamu yang mau berbohong kan? Kamu nggak mau tingkah butik kamu kebongkar, makanya banyak alasan!" Ketus mama Amel.

Ayah Amel berusaha menengahi. "Apa tidak ada rekaman CCTV Bu untuk melihat kejadian nya?"

"Tidak pak... Saat itu sedang ada perbaikan beberapa CCTV. Makanya ada beberapa titik buta saat itu."

Adinda yakin kalau Ara pasti sekuat tenaga mencoba jatuhkan adinda karena tak suka padanya. Di tambah lagi sikap adinda selama ini pada Ara cukup menguras emosi.

Ara menceritakan semua skenario kebohongan nya dengan begitu sempit tanpa cela. Membuat semua orang kecuali adinda percaya dengan kata-kata Ara.

"Saat itu saya sedang ambil alay di atas Bu, tiba-tiba saya lihat adinda sedang bertengkar dengan Amel hanya karena tinta tumpah. Awalnya saya mengira semua baik-baik saja hingga akhirnya adinda kembali berpapasan dengan Amel di tangga lalu mereka bertengkar dan Adinda mendorong Amel hingga jatuh..."

Adinda terkejut mendengar cerita yang berbanding dengan kenyataan, adinda langsung membantah seketika. "Bodong! Saya nggak dorong Amel, tapi Amel jatuh sendiri. Jika saya dorong amel, untuk apa saya tolong hingga tangan sendiri terluka?!"

Bu Arum tengah bingung, di sisi ada perkataan adinda yang masuk akal dan di sisi lain pernyataan Ara satu-satunya bukti saat ini.

Melihat keraguan di wajah Bu Arum, Ara kembali menguasai situasi lagi. "Saya nggak bohong Bu, ibu bisa panggil Rahma 12 MIPA 1 Bu, dia juga lihat bagaimana Adinda bertengkar dengan Amel."

Adinda semakin terkejut, ia ingat kalau yang menyuruhnya turun adalah Rahma. Ia masih ingat kalau itu Rahma, siswi yang cukup dekat dengan Amel dan Ara.

Mendamba ucapan Ara, Bu Arum langsung menghubungi Rahma untuk segera datang ke sekolah. Sekitar 10 menit kemudian, Rahma datang ke sekolah dengan raut wajah yang cemberut dan terlihat tak bersemangat.

"Akhirnya kamu datang juga, Rahma... Ibu minta tolong kamu bisa jelasin apa yang kamu lihat waktu Amel dan adinda bertengkar? Kata Ara, kamu juga melihat mereka berdua bertengkar?" Tanya Bu Arum.

Rahma melempar tatapan penuh ketahuan pada Ara. Ara melotot seolah menyuruh Rahman meng-iyakan semua kata-kata nya. Tapi dalam hati, Rahma takut ikut campur urusan ini.

My Crush My Husband [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang