Bab 94 Mati

1.6K 78 0
                                    

Hari pertemuan.

Hari ini telah tiba, Ibu Amek membuat semuanya semakin rumit, ia membuat pertemuan semua pemegang saham untuk memutuskan apakah Adinda bersalah atau tidak.

Hari ini, para pemegang saham yang memiliki saham lebih dari 10% ikut menghadiri pertemuan ini. Ada setidaknya 5 orang yang hadir, termasuk Ayah Ara, Amel dan Ayah Ben.

Adinda, Ben, dan Ara menunggu diluar ruangan. Para orang besar itu sedang merundingkan perkara ini, tak lama kemudian Adinda dipanggil untuk masuk ke dalam.

Dengan jantung yang berdetak tak karuan, Adinda memasuki ruangan bening itu. "Se-selamat pagi..." Sapa Adinda yang gugup.

"Masuk Adinda..." Suara Bu Arum menginterupsikan Adinda untuk masuk.

Adinda berdiri dengan gugup di depan orang-orang berkuasa. Bu Arum mulai menanyakan satu-persatu pertanyaan pada Adinda.

"Apa kamu ada di tempat kejadian, saat Amel jatuh?"

"Iya Bu..."

"Kamu melihat dari awal hingga akhir saat Amel jatuh."

"Iya Bu..."

"Apa kamu mending Amel?"

"Apa? Enggak Bu, demi apapun saya nggak pernah dorong Amel! Dia jatuh sendiri Bu!"

Beberapa orang tampak berunding tentang jawaban Amel, lalu dipanggil lah Ara dan Ben agar masuk. Mereka berdua masuk untuk memberikan saksi, Ara di tanya terlebih dahulu.

"Ara....apa benar kamu melihat semua kejadian nya?"

"Iya Bu..."

"Tapi, apa yang kamu lakukan di sana? Kenapa sejak kemarin Adinda selalu berkata kalau dia tidak melihat kamu?"

Ara terdiam sejenak. "Oh itu... Sa-saya, saya ambil barang di gudang buat acara perpisahan Bu!"

"Ngapain Lo ambil barang sendiri? Kan pembantu umum bisa ambilin buat Lo? Dan itu juga bukan tugas wakil ketua OSIS kan?" Ben berkata tanpa menjaga tata Krama lagi karena jengkel dengan kesaksian Ara sejak kemarin.

Ara tergelagap mendengar kata-kata Ben yang membuatnya sedikit panik. "Itu... Kan aku lewat gitu, terus lihat anak yang mau ambil tali kesulitan, ya udah aku bantuin sekalian."

"Siapa yang ambil?"

"Rahma..."

Semua tanpa berunding, Bu Arum kembali bertanya pada Ara. "Apa kamu melihat kalau Adinda mendorong Amel?"

Semua semakin tegang menunggu jawaban Ara. "Iya Bu."

Seketika Adinda terkejut mendengar nya. "Jaga mulut Lo ya! Jangan fitnah Lo, gue nggak pernah dorong Amel ya! Dasar tukang fitnah!" Adinda .Arab dan hampir memukul Ara, tapi Ben menahannya.

Semua terkejut melihat tingkah Adinda yang tampak emosional, beberapa orang juga memiliki keyakinan kalau Adinda memang mendorong Amel karena marah di lihat dari sikapnya yang emosional ini.

Ben semakin bingung sekarang. "Gimana nih? Nggak mungkin gue bohong sekarang, sikap Adinda yang emosional ini udah dilihat semua orang. Dan orang-orang bakal mikir kalo Adinda memang dorong Amel!" Ben semakin bingung dengan situasi yang semakin rumit ini.

Bu Arum mencoba menenangkan Adinda. "Din udah Din! Jangan seperti ini nak... Sudah, kita rundingkan semuanya ya!"

Adinda sedikit tenang mendengar kata-kata Bu Arum, sekarang Ibu Amel justru ikut bersuara. "Bagaimana? Pasti Adinda yang dorong Amel, kala bukan, siapa lagi?"

Ayah Ben yang sejak tadi diam akhirnya juga bersuara. "tolong jangan nilai satu pihak Bu! Ada Ben di sini juga untuk saksi bukan pajangan!"

Akhirnya semua setuju untuk mendengarkan penjelasan Ben, Ben sempat bengong karena berpikir apa yang harus ia katakan. Apakah ia harus berbohong atau tidak.

"Ben... Apakah kamu melihat kejadian nya?"

Ben menjawab walau masih bengong. "itu Bu..."

"Kamu melihat Amel dan Adinda di sana?"

"Iya."

"Adinda ada di dekat Amel saat kejadian itu?"

"Iya."

"Lalu Amel jatuh ke bawah?"

"Iya."

Adinda terkejut mendengar semua jawaban Ben Yanga hanya meng-iyakan semua pertanyaan Bu Arum. Ia mulai berada di posisi yang tidak menguntungkan saat ini.

"Apakah kamu melihat Adinda mendorong Amel?"

"Tidak..."

"Tapi kamu melihat Amel jatuh?"

"Iya."

Ibu Amel langsung berpendapat. "Lihat kan? Mana mungkin Amel jatuh sendiri? Pasti Adinda dorong Amel karena baru selesai bertengkar, dia pasti benci Amel! Lihat saja dia tadi hampir memukul Ara kan? Ayah ibunya sudah meninggal, makanya tingkah nya seperti anak tidak berpendidikan!"

"BU!!!"

Ayah Ben dan Ben membentak bersamaan karena penghinaan ibu Amel, Adinda hanya terdiam, dadanya terasa sesak mendengar hinaan Ibu Amel.

"Bu! Meski saya tidak melihat apakah Adinda mendorong Amel atau tidak, tapi saya tau kalau Adinda tidak mendorong dia! Amel itu terjatuh sendiri, dia tidak di dorong Adinda! Ia jatuh karena lantai yang licin!" Jelas Ben.

Adinda semakin terkejut dengan penjelasan Ben, ia berharap kalau Ben akan berbondong-bondong dan semua akan selesai. Dari pandangan Adinda Ben hanya memperburuk keadaan dengan menceritakan kebenaran.

Semua ribut dan berusaha menyangka pendapat masing-masing, dada Adinda semakin sesak mendengar keributan di ruangan itu. Ia diam-diam membuka pintu dsn pergi keluar tanpa menghiraukan situasi.

"Adinda... Adinda..." Panggil Bu Arum, taou tak dihiraukan.

Adinda berlari keluar dan duduk di bawah pohon dengan mata berkaca-kaca, awalnya ia mencoba baik-baik saja, tapi setelah ibu Amel menyeret kedua orang tuanya, ia menjadi lemas seketika.

Ia duduk meringkuk memeluk kedua kakinya dan menangis. "Hiks... Mama... Papa... Kenapa jadi kayak gini? Hiks, Dinda nggak dorong Amel! Dinda nggak salah! Hiks..."

Adinda bingung harus apa, saat ini pandangan Adinda dan Ben benar-benar berbeda dan ini memicu kesalahpahaman antara mereka.

"Kenapa Ben nggak ngertiin gue sih! Hiks... Argh! Kenapa semua jadi kayak gini hiks..." Adinda marah dan memukul-mukul pohon di belakang nya hingga tangan nya berdarah.

Ara datang dengan santainya dan tersenyum menyapa Adinda yang menangis. "Hai Adinda... Gimana? Masih hidup kan?"

Adinda menghentikan tangisannya dan mengangkat kepalanya ke atas. "Hiks... Maksud Lo apa sih ngomong kalo gue yang dorong Amel? Mata Lo buta apa gimana?"

Ara memanyunkan bibirnya dengan wajah meledek. "Utututu... Nggak salah ya? Ya udah, off baperan sayang..."

Adinda semakin kesal mendengar kata-kata Ara, ia berdiri dan mengusap air matanya. "Mau Lo apa sekarang? Kalo Lo punya masalah sama gue, sini selesain di sini! Gue nggak takut cewek sialan!"

"Enggak mau ah, aku nggak mau punya urusan sama kriminal. Siap-siap dikeluarin dari sekolah ya kalo nggak dikeluarin, berarti nama Lo bakal rusak di sekolah ini, kriminal!" Ejek Ara.

Adinda sudah tak bisa menahan emosi nya lagi, ia menjambak rambut Ara keras, menariknya menuju pohon dan membuat Ara terpojok di pohon. Adinda langsung mengarahkan kedua matanya ke leher Ara.

Adinda benar-benar marah, ia mencekik Ara dengan keras, Ara berusaha keras melepaskan cekikan Adinda yang tiap saat semakin menyiksa nya.

"Ugh... Le-pa-si-nn!! G-gue..."

"Mati aja Lo mati!"

My Crush My Husband [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang