Menerima kenyataan

8.1K 707 68
                                        

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.

Setelah satu jam lebih mengobrol ini itu dengan Tennesya yang membuat Haechan hampir memiliki niat ingin menggadaikan Ibundanya ke tukang loak, sang Ibunda kini sudah pulang.

Haechan bersandar di sofa sembari menghela napas lega. Sementara Markie baru kembali setelah mengantar Tennesya ke depan Apartment. Ya, hanya di pintu, sih.

Markie bingung ketika melihat suaminya yang bersandar di sofa dengan mata terpejam. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Akhirnya ia memutuskan untuk meletakkan gelas di dapur. Sedikit melihat-lihat dapur sudah bersih atau masih ada kotoran. Lalu, berpikir ingin memasak apa untuk makan malam nanti. Walaupun sekarang masih jam setengah tiga.

Haechan membuka mata. Dia jadi teringat pesan Jeno yang belum sempat dibaca karena sudah lebih dulu meladeni Ibundanya.

Pemuda itu bangkit lalu berjalan menuju kamar untuk mengambil ponselnya yang berada di sana.

Ternyata hanya pesan yang berisi pertanyaan apakah Haechan sudah bangun atau belum dari Jeno.

Memang terlihat tidak terlalu penting. Tapi, mengingat ini Jeno yang mengirim pesan pertanyaan seperti itu, rasanya ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh pemuda itu.

Haechan memutuskan untuk membalas singkat berupa; 'Ada apa?'.

Belum ada jawaban dari Jeno. Bahkan centangnya hanya satu. Sedang tak aktif. Haechan jelas penasaran. Apa yang ingin disampaikan oleh sahabatnya itu?

Satu pemikiran terlintas di benak Haechan.

"Apa mungkin?" gumamnya.

Arron. Satu nama itu.

Haechan yakin jika Jeno, Renjun dan Jaemin sudah tahu kalau Arron telah kembali ke Indonesia. Bahkan mungkin mereka sudah saling bertemu tatap.

Pemuda itu menghela napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya. Dia meletakkan ponsel di atas tempat tidur. Dirinya sendiri berbaring dengan pandangan kosong menatap langit-langit kamar.

"Kenapa lo baru datang sekarang?" ucap Haechan pelan.

Pintu kamar terbuka. Haechan melirik. Markie berdiri dengan gelisah di depan pintu. Tangannya memilin ujung baju.

Pemikiran tentang Arron terenyahkan begitu saja dalam benak Haechan.

"Ada apa?" tanya pemuda itu seraya bangun. "Butuh sesuatu atau gimana?"

Markie menggeleng, dia masih terlihat gelisah di depan pintu. Seperti ingin menyampaikan sesuatu, tapi ragu.

"Ngomong aja, gak perlu sungkan. Aku suamimu, kan?" kata Haechan seolah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh istrinya.

Markie perlahan mendekat ke tempat tidur, kemudian memperlihatkan beberapa kalimat yang sudah ia tulis sebelumnya.

"Mas Dirga, tiba-tiba Markie ngantuk. Boleh bobo sebentar gak? Janji sebelum jam enam sore, Markie udah bangun."

Haechan terkekeh pelan. Merasa lucu dengan apa yang ditulis oleh sang istri. Hanya ingin tidur siang saja meski izin dulu.

"Boleh. Sini tidur," kata Haechan seraya menggeser sedikit tubuhnya agar Markie bisa tidur di sebelahnya.

Markie mengangguk. Dia menulis beberapa kalimat lagi.

"Kalau Markie belum bangun, nanti guncang-guncang aja ya, Mas?"

"Iya." Haechan kembali terkekeh. "Udah, sini tidur. Lagian masih jam tiga kurang. Ada banyak waktu sebelum makan malam."

Markie membuat gerakan tubuh dengan tangannya membentuk kata 'oke'. Kemudian ia meletakkan buku catatannya di atas meja nakas, lalu mulai naik ke tempat tidur. Lantas dia berbaring membelakangi sang suami.

Sementara Haechan memilih untuk tetap diam di kamar sembari bermain ponsel. Sesekali melirik ke arah istrinya yang ternyata sudah terlelap damai.

"Cepet banget tidurnya," gumam Haechan seraya terkekeh geli. "Beneran ngantuk kali."

.
.
.

Winnar berdecak kesal kala pesan yang ia kirim pada Haechan belum juga mendapat balasan sampai sekarang. Bahkan centangnya selalu saja satu.

"Masa Dirga ngeblokir nomor gue, sih?" gumam Winnar. "Dia gak mungkin benci sama gue hanya karena gue tinggal kuliah, kan? Gue yakin Dirga itu setia. Dia masih cinta sama gue."

Winnar sangat yakin jika perasaan Haechan terhadapnya itu sangat tulus, setia dan abdi. Jadi, ketika ia pergi untuk kuliah keluar Negeri tanpa menjelaskan apa-apa terlebih dahulu, Haechan tidak mungkin membencinya. Pemuda itu pasti mengerti.

Tapi, mengapa Haechan bisa sampai menikah dengan Markie?

"Gue yakin Dirga pasti dipaksa sama orang tuanya buat nikahin Markie atau dipaksa sama Papa. Dirga gak mungkin ngehianatin gue gitu aja," gumam Winnar lagi.

Pemuda itu teringat akan perkataan dari Taeyongie jika yang mengusulkan perjodohan antara Markie dan Haechan adalah Jaehyun serta keluarga dari Haechan. Tidak salah kalau ada paksaan dalam masalah ini.

"Gue harus ketemu sama Dirga dulu. Itu yang lebih penting," ucap Winnar penuh tekad. "Tadi Mama bilang kalau mereka tinggal di Apartment-nya Dirga, di daerah Jakarta Selatan. Gue harus ke sana besok. Iya, gue bakal ke sana."

Winnar tersenyum cerah dengan rencana yang telah tersusun di dalam benaknya. Semoga saja besok dia berhasil bertemu dengan Haechan.

.
.

Pukul empat lewat dua puluh menit. Haechan sedang sibuk dengan kameranya, memeriksa beberapa hasil gambar yang beberapa hari lalu sempat ia ambil. Sementara Markie masih tertidur pulas.

Haechan menoleh ketika Markie mengubah posisi menjadi menghadap ke arahnya. Karena terlalu pinggir, pemuda itu mengambil bantal guling, kemudian di letakkan di belakang tubuh istrinya untuk menjaga sang istri agar tidak sampai terjatuh.

Setelah memastikan aman, Haechan kembali fokus pada kamera miliknya. Namun, fokusnya jadi terbagi ketika tak sengaja ekor mata pemuda itu menangkap wajah damai Markie yang tertidur. Begitu polos, manis dan cantik.

Tanpa sadar Haechan tersenyum kecil. Tangannya bergerak untuk mengusap pipi putih Markie dengan gerakan pelan nan lembut.

Tidak ada kata yang terucap, Haechan hanya melakukan kegiatan itu beberapa menit dalam keheningan. Seolah tengah menikmati keindahan yang ada di hadapannya saat ini.

Perlahan tangan Haechan menjauh dari wajah Markie. Pemuda itu terdiam memandangi wajah istrinya yang masih tertidur pulas tanpa terganggu akan ulahnya tadi. Dia menyungingkan senyum kecil.

"Pernikahan ini emang karena perjodohan. Aku juga sempat nolak karena gak setuju. Tapi, mau gimana'pun juga, gak ada yang bisa aku lakuin buat nolak hingga akhirnya kita resmi menikah. Kita jalani kehidupan baru ini bersama-sama. Kamu jadi tanggung jawab aku, dan semoga aku gak gagal jadi suami kamu, ya?"

Haechan berucap dengan nada pelan hingga hanya dirinya sendiri yang bisa mendengar. Markie juga masih tidur, tak tahu jika sang suami mengucapkan kalimat seperti itu.

Haechan memang sudah memutuskan. Sebagaimana'pun dia masih belum menerima perjodohan ini, tapi sekarang ia sudah resmi menikah. Tugas pemuda itu sebagai suami harus bisa menafkahi istrinya. Dia tidak akan abai dengan tugasnya sendiri.

"Yeah, menikah sama kamu juga bukan pilihan yang buruk." Haechan terkekeh ketika mengingat kembali bagaimana sikap dan sifat Markie yang menurutnya sangat lucu. "Lion."

.
.
.

Tbc~

Haihaihai

Satu Atap(Hyuckmark)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang