Voice

6.7K 695 92
                                        

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


.
.
.

"Adek, bisa tolong ambilin handuk baru? Handuk Mas jatoh," ucap Haechan dari dalam kamar mandi. Tentu saja sedikit berteriak agar bisa didengar oleh istrinya.

Markie yang tengah membaca buku sembari berbaring di tempat tidur, lantas segera beranjak untuk mengambil handuk di dalam lemari sesuai permintaan sang suami.

Setelah mendapat apa yang ia cari, Markie melangkah ke arah kamar mandi, lalu mengetuk pintu beberapa kali.

Tak berselang lama, pintu terbuka dan Markie sontak melebarkan mata, kemudian membalikkan tubuhnya ketika melihat sang suami tengah berdiri di ambang pintu tanpa mengenakan pakaian.

Markie menyerahkan handuk di tangannya dalam posisi membelakangi sang suami.

Sementara Haechan sendiri terkejut, karena dia lupa jika handuknya basah terkena air dan ia tengah telanjang.

"Maaf, lupa," kata pemuda itu seraya mengambil handuk di tangan Markie, lalu memakainya untuk menutupi area privasi. Dia tertawa pelan kala melihat sang istri masih berdiri membelakanginya. "Kamu kenapa?"

Perlahan Markie menoleh, mata pemuda itu kembali melebar lucu dan wajahnya memerah. Kemudian ia memutuskan untuk berlari pergi karena terlalu malu, terlebih saat melihat Haechan tengah tersenyum tipis yang ditunjukkan untuknya.

"Lucu banget."

Haechan tertawa, lalu geleng-geleng kepala. Ia kembali ke kamar mandi karena ingin menyiram lantai agar tidak ada sisa sabun. Nanti bisa licin, itu sangat bahaya.

.
.
.

Markie duduk di sisi tempat tidur, wajahnya masih memerah karena teringat apa yang ia lihat tadi.

"Mas Dirga nyebelin banget. Bisa-bisanya keluar telanjang gitu. Kan, Markie jadi ngelihat sesuatu yang bikin ngeri," ucap Markie di dalam hati.

Jangan bertanya apa yang dilihat oleh Markie, karena pemuda itu tak ingin mengingatnya lagi. Terlalu mengerikan, meskipun dia juga punya. Tapi, ada perbedaannya. Eh.

"Bener-bener ngeri. Kalau masuk ke punyanya Markie, bakal gimana rasanya, ya?"

Markie kembali berucap di dalam hati, lalu ia menggetok kepalanya sendiri.

"Ih, kenapa Markie jadi punya pikiran kotor gini?"

Markie terus saja bergumam di dalam hati dengan bibir mengerucut, sampai tidak sadar jika Haechan sudah keluar dari kamar mandi.

"Kenapa bibirnya dimajuin, Lion?" tanya Haechan sembari mengerikan rambutnya dengan handuk kecil.

Markie langsung tersadar, ia berkedip memandangi sang suami. Lalu, menggelengkan kepala. Wajah pemuda itu kembali memanas. Suaminya masih telanjang dada.

Markie membuat gerakkan isyarat menyuruh agar Haechan memakai baju. Sementara pemuda itu hanya menaikan sebelah alis. Bukan tidak mengerti, hanya sengaja ingin menjahili. Karena sangat lucu melihat wajah istrinya memerah seperti udang rebus.

Markie merengut karena Haechan tak segera menuruti apa yang ia suruh.

Haechan yang melihat hal tersebut menyungingkan senyuman tipis. "Iya, nanti Mas dibaju. Sekarang masih gerah gini. Padahal udah mandi. Mungkin karena AC nya mati."

Sepertinya mulai sekarang Markie harus terbiasa melihat sang suami telanjang dada di hadapannya.

Haechan sudah duduk bersandar di depan tidur tanpa Markie sadari, entah sejak kapan. Mungkin saat ia sedikit melamun tadi.

"Markie, apa Mas boleh nanya sesuatu?" ujar Haechan.

Markie mengangguk sembari mengulum senyuman manis.

"Apa sebelumnya kamu pernah pergi ke Paris?" tanya Haechan.

Markie bingung dengan pertanyaan sang suami yang tidak diduga seperti ini. Ia memutuskan untuk menggeleng, karena memang belum pernah.

"Kirain udah," ucap Haechan. "Kalau Mas pernah beberapa kali bareng sama yang lain. Ya, itu juga buat kerjaan, sih. Ngambil gambar dan lain-lain," kata pemuda itu. "Kamu bisa pake gerakkan isyarat buat ngobrol kalau lagi berdua ini. Mas lumayan bisa ngerti. Jadi, gak perlu selalu pakai catatan. Ya, tapi senyamannya kamu aja gimana," lanjutnya.

Markie tersenyum, lalu mengangguk. Lantas ia membuat beberapa gerakkan isyarat untuk menjawab perkataan sang suami tadi.

"Kata Papa pernah sekali, tapi itu waktu Markie kecil bareng Mama Tasya. Tapi, Markie gak ingat apa-apa, Mas."

Begitu yang bisa ditanggap oleh Haechan dari gerakkan istrinya.

"Mama Tasya." Haechan bergumam. "Aku pikir Mama Taeyongie itu Mama kandung kamu."

Markie menggeleng tanpa melunturkan senyumannya. Ia kembali membuat gerakkan isyarat.

"Markie juga sempat mikir gitu, tapi ternyata enggak. Markie sedih waktu tau kenyataannya kalau Mama Taeyongie bukan Mamanya Markie."

"Terkadang sebuah masalalu yang gak kita ketahui, bisa bikin kita sedih saat mengetahuinya dikemudian hari," ujar Haechan.

Markie menggangguk setuju.

Sebenarnya Haechan ingin menanyakan banyak hal pada Markie. Namun, ia merasa hari ini bukan waktu yang tepat untuk mengatakannya.

"Oh, ya, Dek. Kayanya Mas agak sedikit lapar. Bisa bikinin mie instan?" ucap Haechan memutuskan untuk menghentikan sesi obrolan ringan mereka mengenai masalah keluarga. Lebih baik diganti dengan hal lain.

Markie mengangguk dan segera turun dari tempat tidur. Ia membuat gerakkan.

"Mau pakai telur juga, Mas?"

"Enggak, deh. Cukup mie aja sama sedikit sayuran. Rasa soto, ya," sahut Haechan. "Kalau kamu mau, sekalian aja."

Markie menggeleng. Ia menggerakkan mulutnya. "Aku masih kenyang, Mas."

Itu yang ditangkap oleh Haechan. Dia jadi teringat kembali mengenai Markie yang sebenarnya masih bisa bicara.

Markie menepuk pundak Haechan yang terlihat melamun. Ia kembali membuat gerakkan dengan mulutnya.

"Mas baik-baik aja?"

Haechan tersadar, lalu berucap.

"Baby Lion."

"Ngh?"

Suara Markie terdengar.

Haechan memegang tangan Markie, menggenggamnya lembut.

"Kata Papa, kamu bukan maaf, bisu sejak kecil dan sebenarnya masih bisa bicara. Apa itu benar?" tanya Haechan hati-hati.

Markie langsung terdiam memandangi sang suami.

"Kalau benar, apa sekarang Mas bisa dengar kamu sedikit aja ngeluarin suara. Bilang Mas Dirga atau apapun itu," kata Haechan.

Markie masih terdiam tanpa bergerak atau mengalihkan pandangannya dari wajah sang suami yang juga tengah menatapnya.

Tidak ada pergerakkan sama sekali, Haechan mengusap tangan Markie yang berada di tangannya.

"Maaf, kalau tadi Mas salah. Lupain aja, ya? Sekarang kamu bisa bikinin mie instannya. Mas udah lapar," ujar Haechan sembari tersenyum tipis.

Markie masih diam menatap Haechan, membuat pemuda itu jadi merasa tidak enak. Sepertinya dia telah salah melangkah.

Namun, sesuatu mengejutkannya.

"M ... as .... Dir ... ga."

Haechan baru saja mendengar suara Markie yang menyebut namanya. Suara yang begitu bergetar, menyimpan banyak ketakutan ketika mengeluarkannya, namun tak menepik suara itu terasa halus dan lembut.

.
.
.

Tbc.

Aku mutusin buat Haechan manggil Markie dengan selang seling. Kadang, Adek, Lion, sayang, cutie, baby, babe. Sesuai kebutuhan. Wkwkwk.

Satu Atap(Hyuckmark)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang