Shoocked

14.7K 848 13
                                    

Exercises give you endorfin
Endorfin makes you happy

***

Meski tidak bisa dikatakan anti sosial, aku tetap saja bukan orang yang nyaman untuk membagikan kehidupan di sosial media. Meski tetap memiliki akun seperti anak seusiaku pada umumnya, aku tak pernah — atau lebih tepatnya sangat jarang untuk berbagi aktivitas melalui story maupun feeds. Paling mentok hanya me repost, itu pun hanya sesekali aku lakukan.

Anehnya meski tidak suka membagikan kegiatan, aku justru menyukai hal-hal yang berbau sosial media. Maksudku seperti membuat konten, baik dalam bentuk desain maupun video. Aku senang melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan kekreatifan. That why aku memiliki portofolio yang cukup dalam hal tersebut, meski tidak pernah membagikan karyaku di akun pribadi.

"Jadi gak harus tiap hari ke office ya, Mas?" tanyaku pada salah satu senior.

Ini adalah hari terakhir on boarding — yang dilakukan secara online, yang menandakan bahwa besok lusa aku sudah resmi bekerja sebagai anak magang.

"Nggak perlu ya, Oliv. Mungkin sesekali bakal stay di kantor kalau Bapak lagi gak ada kegiatan kunjungan." Aku mendengarkan seksama apa yang dijelaskan oleh Mas Joshua, orang yang membawahi aku selama magang.

"Pokoknya fokus kamu lebih ke kegiatan bapak. Jadi kemana pun bapak pergi, kamu sama yang lain akan ikut." Aku mengangguk untuk menanggapi penjelasan tersebut.

Meski agak sedikit ngeri karena berarti aku akan bekerja langsung bersama Pak Gama, tidak ada yang bisa aku lakukan selain menebalkan muka. Toh dari cerita yang Mas Joshua bagikan, Pak Gama adalah tipe orang yang serius dan tidak peduli dengan hal-hal di luar pekerjaan, sehingga kecil kemungkinan beliau akan mengingatku hanya dari pertemuan singkat yang lalu.

"Ada yang mau nanya lagi?" Aku dan beberapa orang di dalam zoom diam. Sepertinya memang sudah tidak ada yang ingin bertanya, sehingga tidak ada yang menanggapi pertanyaan dari Mas Joshua.

"Dari saya cukup, Mas." Jawabku on mic. Kemudian diikuti beberapa yang lain, yang membuktikan asumsi yang aku pikirkan sebelumnya.

"Kalau gitu cukup ya buat hari ini. Kita ketemu lagi Senin  di office."

Aku menutup laptop dan beranjak. Menggerakkan sedikit badan karena cukup lama duduk, lalu kemudian berjalan ke arah kulkas untuk mengambil air minum.

***

"Mau kemana, dek?" aku yang sedang mengikat tali sepatu mendongak. Menatap ke arah mama — yang sepertinya baru saja pulang karena masih mencangklong tas dari produk UMKM yanng dibinanya di lengan kanannya.

"Mau lari sore, ma. Mama baru pulang?"

"Iya."  Mama menarik salah satu kursi yang ada di halaman rumah dan mendudukinya. Mungkin masih ada yang ingin ditanyakan, sebab tak langsung masuk dan malah duduk di sebelahku.

 Mungkin masih ada yang ingin ditanyakan, sebab tak langsung masuk dan malah duduk di sebelahku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kenapa, ma?" tanyaku karena beliau tak kunjung mengatakan apapun. Malah hanya diam dan melihatku, yang kini sudah selesai dengan urusan tali sepatu.

"Kamu kenapa?"

Dahiku mengernyit heran. "Memang aku kenapa?" bukannya menjawab, aku malah balik bertanya. Pasalnya aku merasa tidak apa-apa, jadi aku tidak tahu juga harus menjawab pertanyaan beliau seperti apa.

"Ya itu, tumben banget mau olahraga. Sendiri pula."

Aku meringis. Sudah paham kenapa daritadi beliau memandangku dengan tatapan curiga. Kebetulan aku memang dikenal sebagai orang paling malas di antara seluruh penghuni rumah, jadi sangat wajar apabila tanpa angin tanpa hujan tiba-tiba aku ingin olahraga lari seperti ini.

"Mumpung belum jadi anak magang, Ma. Mau puas-puasin jadi pengangguran." Jawabku ngawur.

Jujur aku tidak tau mengapa aku ingin lari sekarang. Yang aku tahu, aku cukup khawatir dengan magangku, dan tiba-tiba kepikiran untuk berolahraga.

Mama hanya mengangguk. "Sama siapa?"

"Sendiri,"

"Ya udah hati-hati. Pulangnya jangan kemaleman." Pesan beliau yang langsung aku iyakan.

***

"Totalnya lima ribu ya mbak," aku mengangguk dan mengiyakan perkataan kasir indomaret. Kebetulan air yang aku bawa di dalam tumblr habis, dan aku memutuskan untuk membeli sebotol air mineral untuk menghilangkan rasa haus di kerongkongan.

"Pakai shopeepay bisa mba?"

Mbak kasir tersenyum, "Bisa mba."

Aku merogoh saku celana dan mengambil ponsel. Saat olahraga seperti ini aku memang biasanya tidak membawa dompet fisik. Aku sudah terbiasa menggunakan dompet digital dan merasa itu jauh lebih simpel karena aku tak perlu untuk membawa berbagai macam barang hanya untuk berolahraga.

"Sial!" Gumamku spontan. Aku baru tau bahwa ponselku mati, sepertinya kehabisan daya karena tidak aku charger sejak semalam. 

"Gimana mbak?" aku mulai panik dengan pertanyaan yang sebenarnya simpel. Hanya saja karena seumur hidup aku belum pernah mengalami hal semacam ini, otakku tiba-tiba tidak bisa berpikir karena terlalu gugup.

Belum juga aku membuka mulut untuk menjawab pertanyaannya, suara seseorang dari belakang berhasil membuatku mengurungkan niat. "Ini mbak," ujarnya sembari mendorong uang pecahan lima ribuan ke arah kasir.

Kontan aku menoleh ke belakang. Memastikan siapa yang menyelamatkanku dari calon insiden memalukan ini. "Udah gapapa, gue bayarin aja. Itu yang dibelakang masih banyak yang ngantri." Aku mengikuti arah telunjuk laki-laki ini. Sepertinya dia tau masalahku, dan berinisiatif untuk membantu karena dibelakang kami memang ada beberapa orang yang sedang mengantri.

Aku tidak bisa mengatakan apapun, bahkan sekedar ucapan terima kasih padanya. Kesadaranku baru kembali saat mbak kasir memberikanku struk, lalu aku juga harus segera menggeser posisi berdiri agar antrian tidak berhenti.

Nah loh, kira-kira siapa nih yang udah bayarin minumnya si Oliv?

Minis(try)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang