Sebagai perempuan, seringkali aku berpikiran bahwa dunia harus berputar untukku. Selalu tentang aku, termasuk ingin selalu didengarkan, diperhatikan, dan juga dikabari oleh pasanganku. Namun tanpa sadar, aku telah bersikap egois. Menuntut pasanganku untuk selalu mengabari, sementara aku sendiri tidak melakukannya.
Rasanya sangat lama menunggu waktu pagi tiba. Entah memang karena waktu berjalan lambat, atau aku yang sudah tidak sabar untuk menunggu.
Badanku terus saja berguling ke kanan dan ke kiri. Sejak berbalas pesan dengan Mas Gama beberapa jam lalu, mataku tak kunjung bisa terpejam. Perasaanku tidak tenang, dan kesadaranku kembali ke keadaan prima.
"Bang, masih bangun gak?" daripada galau tanpa solusi, aku memutuskan untuk menghubungi Bang Jeno. Aku ingin meminta solusi atas masalah yang terjadi, sebab kali ini pikiranku terasa kosong.
"SOS, bang!" Aku kembali mengirim satu bubble chat lagi padanya. "Kabarin ya kalau masih melek."
"Gue butuh bantuan." Aku menghela napas kasar. Ini adalah satu-satunya solusi yang bisa aku pikirkan, dan semoga Jenoandra masih belum masuk ke dalam alam mimpinya.
"Kenapa?" setelah berkali-kali melihat ponsel, pesan yang aku harapkan akhirnya muncul. "Lo gak papa kan?"
"Gue butuh bantuan lo." Tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung mengutarakan maksud dan tujuanku menghubunginya. Aku sudah tidak bisa basa-basi, jadi harus langsung masuk ke dalam intinya.
"Gue lupa belum ngabarin Mas Gama," aku membubuhkan banyak emoticon menangis di belakang kalimatku tersebut. Mengirimkan signal padanya bahwa aku sedang tidak baik-baik saja.
"Gue kan tadi udah ngingetin berkali-kali." Bukannya memberi solusi, pesan balasannya justru terdengar seperti dia sedang menjudge ku. Dia menyalahkan ku yang ceroboh karena tidak mengikuti saran yang diberikan olehnya.
"Namanya lupa, Bang. Gue juga seharian sibuk banget."
"Ngabarin nggak ada lima menit kali," dia benar-benar menguji kesabaranku. Jelas-jelas aku menghubunginya bukan karena ingin diberikan ceramah, tetapi sepertinya - dengan sengaja, dia memancing kemarahanku. Please ini udah jam satu pagi, Bang. Jangan bikin gue tantrum!
"Mas Gama marah, Bang. Gue harus apa?"
"Tumben," tulis Bang Jeno.
"Biasanya dia orangnya gak ribet kok. Apalagi kalau soal ginian."
"Selain gak ngasih kabar, lo abis ngapain?" membaca pesan balasan darinya, aku langsung menggigit bibir. Otakku juga langsung membayangkan ekspresinya sekarang.
"Gue repost story temen gue," sebelum Bang Jeno bingung, aku kembali melanjutkan. "Salah satu anak temennya mama juga jadi fotografer. Cowok dan juga senior gue di kampus."
"Jangan bales dulu, biar gue selesein ceritanya." Aku melihat dia yang tengah mengetik, jadi aku memberitahunya untuk menunda mengirimkan pesan. Aku ingin menyelesaikan cerita terlebih dulu agar tidak terjadi miskomunikasi.
"Selesai acara, gue sempet ada ngobrol sebentar sama dia. Bukan obrolan apa-apa, dan gak penting juga."
"Cuma pas itu dia sempet ambil foto langit, dan dia post di story."
"Terus nandain gue," lanjutku menambahkan.
"Gue gak berpikir panjang. Fotonya estetik, jadi gue repost." Aku menghela napas. Menulis dengan kondisi emosi yang naik turun membuatku merasa kehausan.
Aku mengambil minum yang terletak di atas meja. "Seharian ini gue emang lagi males buat buka wa, dan gak inget sama sekali kalau belum ngabarin Mas Gama."
"Dia ada chat gue berkali-kali, tapi belum kebaca." Mengingat fakta ini, aku kembali diliputi rasa bersalah. Benar apa kata Bang Jeno, memberi kabar tidak perlu effort sebesar itu. Tapi aku justru tidak melakukannya. Poor you, Liv.
"Salahnya lagi pas doi tanya gue di mana gue boong, Bang."
"Gue bilang lagi di rumah, padahal dia udah make sure beberapa kali."
"Gue terlalu takut kena marah," kali ini aku benar-benar ingin menangis. Ini adalah pertama kalinya Mas Gama marah, sebab biasanya aku yang menjadi pihak yang terus marah-marah.
"Ujung-ujungnya ketahuan, dan dia kayaknya kecewa."
"Gue udah minta maaf, tapi respon dia malah nyuruh gue istirahat. Katanya dibahas besok aja."
"Gue gak tenang, Bang. Gue juga gabisa meremmmmm."
"Ini gimana? gue tau gue salah."
"HELP MEEEE!"
Semua pesanku langsung bertanda centang biru. Menandakan bahwa Bang Jeno juga sedang stay di posisinya, jadi bisa langsung menanggapi ceritaku yang meresahkan ini.
"Wait, gue mikir dulu." Satu pesan pertamanya masuk.
"Kalau lo di samping gue, udah gue jitak kepalanya."
"Gue butuh solusi, bang .... bukan makian."
"Ini gue liat akunnya, anaknya juga masih aktif."
"Tapi chat gue gak dibales,"
"Mampus."
"Banggggg."
"Iya bentar. Gue lagi mikir ini. Lo jangan bales dulu."
"Dari sisi manapun gue lihat, lo salah sih, dek." Tanpa perlu memberitahu, aku sudah tau tentang fakta itu. "Gue coba chat anaknya dulu, ntar kalau dibales gue bantu ngomong. Gue bantu jelasin."
"Tapi kalau dia tetep gak mau maafin, gue gak ikut-ikutan."
"Kok gitu?"
"Ya gue juga gabisa maksa anaknya. Dia pasti butuh waktu buat mikir."
"Lagian ini udah tengah malem, otak udah gabisa diajak kerja."
"Udah lu tidur dulu aja sono, ntar gue bantu."
"Gabisa tidur."
"Paksa merem,"
"Bang!"
"Lo tidur dulu, baru gue bantu."
"Nggak bisa."
"Tidur atau gak gue bantu sama sekali?"
Dengan terpaksa, aku akhirnya menjawab. "Fine. Gue tidur."
"Tapi beneran bantu jelasin yaaaa."
Galau gak tuh si Olip 🤭
KAMU SEDANG MEMBACA
Minis(try)
ChickLit"Akhirnya gue keterima magang, Bang!" Teriaku pada Bang Jeno, kakakku yang sampai sekarang belum bisa dibanggakan. Bang Jeno yang sedang bermain ponsel mendengkus, "Magang modal orang dalam aja bangga," "Ngakunya anti nepotisme, tapi mau magang aja...