Dari sebuah postingan yang pernah aku baca, katanya bukan kewajiban kita untuk memaafkan orang yang menyakiti. Kewajiban kita adalah menyelamatkan diri sendiri, yang berarti bahwa tidak papa jika memang belum memaafkan orang yang berbuat salah pada kita.
Bukan berarti tidak mau memaafkan selama-lamanya ya, tetapi kita bisa mengambil waktu sebanyak-banyaknya sampai merasa cukup. Kalau memang belum bisa, ya tidak apa-apa. Jangan dipaksa. Pada dasarnya memang tidak pernah mudah untuk memaafkan orang yang menyakiti, apalagi jika orang tersebut adalah yang benar-benar kita percayai.
Dua kali aku tekankan, memaafkan tidak hanya sekedar sebuah kata yang diucapkan. Butuh kelapangan hati, keikhlasan, dan juga perasaan rela melepaskan rasa sakit yang terus terbayang.
Makanya aku tidak akan menghakimi Mas Gama atas apa yang baru saja dilakukan. Aku mencoba memahaminya dengan menempatkan diriku di posisinya.
Sakit, sangat sakit. Tentu saja.
Aku bahkan tak yakin bisa setegar itu ketika menghadapi masalah besar seperti yang dia alami. Aku percaya dia sudah dewasa, dan pasti bisa memutuskan hal yang terbaik yang akan dilakukannya. Sebagai pasangan aku hanya bisa mendukung, menjadi support system yang selalu ada ketika dia membutuhkan."Butuh pelukan?" tawarku ketika kami baru masuk ke dalam mobil.
Lepas berpamitan dengan tidak sopan, Mas Gama memang langsung menaiki mobilnya. Tentu saja aku yang datang bersama pun mengikuti, lalu diam-diam menghela napas saat melihat dirinya sudah berantakan. Mengacak-acak rambutnya sendiri seperti orang yang sedang banyak pikiran.
"Boleh?" Mas Gama menoleh ke arahku. Aku mengangguk, dan membuka kedua tangan lebar untuk menyambutnya.
"Apa Mas berdosa Liv?" tanyanya. Bahuku terasa basah — menandakan bahwa laki-laki yang selalu terlihat kuat ini sedang menangis.
Ada pepatah bahwa seorang ibu akan membawa kita ke dunia. Namun seorang ayah, dia akan selalu ada di belakang anak-anaknya di situasi sulit apapun.
Lalu bagaimana jika sosok Ayah lah yang menempatkan anak-anaknya dalam kesulitan? pada siapakah sang anak harus bersandar?
Aku menepuk-nepuk pelan punggung Mas Gama. "Mas mau jawaban objektif atau subjektif?"
Aku tahu di situasi ini bukan saatnya untuk bercanda. Aku melemparkan pertanyaan itu juga bukan bermaksud menanggapi pertanyaannya dengan enteng, tetapi mencoba serealistis mungkin agar tidak memberikan harapan yang semu padanya.
Aku mencoba untuk melepaskan pelukan kami, tetapi Mas Gama tidak membiarkannya. "Biarin kaya gini ya,"
"Mas malu kalau harus liat wajah kamu di kondisi yang begini."
Aku mengiyakan. "Iya, Mas. Gapapa. Peluk Oliv sepuas Mas."
"Oliv bakal selalu ada di sini, di sisi Mas Gama. Bahkan ketika gak ada orang lain yang berdiri di sisi Mas."
Dapat kurasakan Mas Gama mengeratkan pelukan. "Mas mau dengar pendapat objektif dan subjektifnya."
Aku tersenyum. "Jawaban objektifnya, salah. Mau bagaimana pun buruknya Om Aryo beliau ini tetep papa kandung, Mas."
"Sebagai seorang anak, tidak pernah dibenarkan untuk berbicara keras kepada orang tua." Aku menjeda kalimatku. "Namun dalam kondisi ini, di mana Om Aryo sudah termasuk dzolim ke anak istrinya sendiri, jujur Oliv gak tau apa hukumnya berubah atau nggak."
Kudengar Mas Gama terkekeh. Sepertinya jokes yang tidak aku niatkan ini sampai padanya. Padahal apa yang aku katakan tidak berniat untuk bercanda, tetapi murni karena ketidaktahuanku.
"Kalau jawaban subjektifnya?" tanyanya lagi.
"Bener."
"Oliv paham betul kenapa Mas bisa semarah itu. Sebagai seorang anak yang memercayai ayahnya, mendapati fakta semenyakitkan itu berhak membuat Mas marah. Mas berhak marah untuk kelakuan di luar akal yang Om Aryo lakukan, termasuk untuk pengkhianatan yang beliau lakukan pada Tante Rina."
"Secara alamiah, manusia itu punya emosi. Pada saat mendapati seseorang yang mengecewakan, sangat wajar bagi seseorang untuk melampiaskan emosinya. Setiap orang pasti juga melakukannya, hanya cara-caranya saja yang berbeda."
"Tindakan Mas tadi kaya gimana?"
"Kalau boleh jujur, Oliv juga bingung." Aku tidak berbohong saat mengatakannya. Sebagai anak muda yang jarang menghadapi masalah, aku juga kebingungan bagaimana memberi respon atas permasalahan Mas Gama. Sepertinya aku butuh konsultasi pada mama agar sedikit tercerahkan.
"Menurut Oliv, ada baiknya Mas Gama menjauh dari Om Aryo dulu."
"Oliv gak bermaksud untuk menjauhkan Mas dari papa mas," cepat-cepat aku mengklarifikasi. "Maksud Oliv jika Mas merasa sangat sakit buat liat Om Aryo, prefer buat menghindar dulu gak sih? jaga-jaga juga. Biar Mas gak terlalu melampiaskan emosi yang suatu saat bisa saja disesali."
"Aku tau Tuhan maha pemaaf, tetapi kita manusia biasa, Mas. Memaafkan orang lain memang baik, tetapi menyelamatkan diri sendiri jauh lebih penting untuk dilakukan."
Siapa yang setuju sama pendapat Oliv?
Bosen gak partnya kebanyakan? bentar lagi end deh ya, janji!
KAMU SEDANG MEMBACA
Minis(try)
Literatura Feminina"Akhirnya gue keterima magang, Bang!" Teriaku pada Bang Jeno, kakakku yang sampai sekarang belum bisa dibanggakan. Bang Jeno yang sedang bermain ponsel mendengkus, "Magang modal orang dalam aja bangga," "Ngakunya anti nepotisme, tapi mau magang aja...