I am Sorry

4K 369 31
                                    

Hidup dalam kekhawatiran memang tidak pernah menyenangkan. Selain tidak tenang dalam melakukan segala hal, perasaan was-was juga selalu ada. 

Pernyataan itu bukan omong kosong semata, sebab dalam sepuluh menit terakhir saja aku sudah berkali-kali melihat layar ponselku. Menunggu kabar dari seseorang yang sejak semalam menganggu pikiran hingga membuatku tak bisa tidur tenang. Juga enggan melakukan berbagai aktivitas harian.

"Oliv pulang hari ini, Mas."

"Bisa minta waktu buat ngobrol?" dengan sedikit cemas, aku mengungkapkan perasaan. "Oliv mau jelasin semuanya soal kemarin."

"Mas hari ini pulang terlambat,"  hanya satu kalimat, tetapi sudah menunjukkan bahwa dia belum mau bertemu dan mendengarkan semua penjelasan ku.

"Kamu istirahat dulu aja, nggak usah kemana-mana." Aku tahu betul bahwa pesannya mengandung unsur perhatian. Namun entah kenapa terasa berbeda, terasa tidak seharusnya dia mengatakan itu di situasi hubungan kami yang seperti ini.

Kenapa gak marah aja, Mas?
Kenapa justru perhatian dan bikin aku ngerasa lebih bersalah?

"Oliv boleh nunggu di apartemen? nanti sekalian istirahat di sana."

"Mas pulang malam, nanti kamu malah dicari mama."

"Kalau mau ke apartemen, datang aja. Tapi nggak usah tunggu sampai Mas pulang."

Aku menghela napas. Sekali lagi dia menolak ku dengan halus.

"Oliv di rumah aja. Nanti kalau Mas udah ada waktu, kabarin ya."

"Oliv gak mau kita terus-terusan kaya begini. Oliv butuh waktu buat ngejelasin semuanya."

Jika sudah seperti ini, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan. Selama berhubungan aku belum pernah menghadapi Mas Gama yang seperti ini, jadi aku juga tak punya pengalaman tentang bagaimana harus bersikap. Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan adalah menunggu, sembari tidak membuat kembali masalah agar tidak menambah rasa kecewanya padaku.

***

"Bang," sembari mengetuk pintu kamarnya, aku memanggil Bang Jeno. "Lo ada di dalem gak?" biasanya dia sampai di rumah sekitar pukul tujuh malam, dan ini sudah pukul delapan.

Aku mengetuk-ngetuk kan sandal bulu bergambar kucingku ke lantai. Menunggu si pemilik kamar untuk membukakan pintu.

"Kenapa?" penampilannya yang cukup berantakan menyambut ku dari balik pintu. Dia masih menggunakan setelan kantornya, dengan dua kancing bagian atasnya yang sudah terbuka.

"Gue mau konsultasi." Ujarku to the point. Biasanya jika sedang lelah aku tak pernah diterimanya menjadi tamu. Namun kali ini, aku akan menjadi tamu yang tidak mau ditolak.

Bang Jeno melebarkan pintu. Menandakan bahwa dia menerima keberadaan ku di sini, dan secara tidak langsung mempersilahkan aku masuk. "Masuk."

Benar saja, kamarnya masih berantakan. Namun aku tidak mau mengomel karena tujuanku datang ke sini bukan untuk membuang-buang energi.

"Soal yang kemarin, gimana?" duduk di atas ranjangnya, aku menatap langit-langit kamar.

"Kalian belum baikan?" dia menarik sebuah kursi tak jauh dariku dan mendudukkannya.

Aku menggeleng. "Nggak tau,"

"Kok?" tanyanya heran.

"Dia masih cuek. Belum mau dengerin penjelasan gue," kali ini aku menatap ke arahnya. "Cuma setiap gue kirim pesan selalu dibales."

"Dia juga masih perhatian, cuma gue ngerasa ada yang beda."

"Beda gimana?"

Lagi-lagi aku menggeleng. "Nggak tau,"

Bang Jeno melihat ke arahku. Lalu menghembuskan napas lelah. Apa hari ini pekerjaannya sangat berat?

"Gue udah bilang sama dia kemarin," aku langsung mendongak dan bersemangat untuk mendengarkannya.

"Kita juga udah sempet telfonan, gue jelasin apa yang lo jelasin ke gue."

"Terus gimana?" responku antusias. "Lo gak ada nambah-nambahin cerita kan?"

"Nggak lah,"

"Dia udah maafin lo katanya,"

"Jangan bohong, Bang."

"Gue jujur anjir!" Jawabnya tak mau dituduh.

"Terus kalau udah maafin gue, kenapa masih gak mau dengerin penjelasan dia?"

"Gue ngomong, tapi lo jangan bilang-bilang ke anaknya kalau denger dari gue." Kalimatnya berhasil membawaku pada rasa penasaran.

"Gimana? gue udah terlanjur janji soalnya sama dia."

"Cuma karena gue prihatin sama lo, gak papa lah gue mengkhianati sahabat gue." Aku sedikit ragu dengan perkataannya. Bang Jeno seringkali tidak bisa ditebak, apakah sedang serius apa bercanda.

"Gue janji," tidak peduli aku akan dibohongi atau tidak, aku memilih percaya. Toh dipikir ulang tidak ada manfaat baginya untuk membohongiku. Meski aku tau, penawarannya ini pasti tidak akan gratis.

"Tapi ada syaratnya."

Nah kan benar! "Apa?"

"Pijitin gue seminggu,"

Aku dibuat tidak percaya olehnya. Dia mengkhianati sahabatnya untuk ditukar dengan hal seperti ini. Tapi sebagai partner transaksinya, bukankah lebih baik aku diam dan menerima saja?

"Deal."

"Tumben," herannya.

"Apa cepet." Aku memilih untuk tidak memedulikannya.

"Gama udah gak marah sama lo. Dia lagi marah sama dirinya sendiri."

"Yang jelas, Bang."

"Ya sabar bocah."

"Dia ini terlalu cinta sama lo, udah sampe tingkat bucin tolol. Makanya pas lihat lo repost story nya cowok, dia langsung cemburu buta kaya gitu."

"Dia takut lo nyesel sama dia. Dia takut lo bakal lebih pilih cowok yang seumuran."

"Hah?" jawabannya benar-benar di luar nalar.

"Abis lihat story lu, dia langsung stalk Ig cowoknya."

"Cowok lo insecure," lanjutnya.

Mas Gama yang super perfect itu insecure?
Kok bisa?


Minis(try)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang