Jam kerja berakhir dan seperti biasanya, anak magang masih berkumpul. Ini adalah hari Jumat, dan kami berencana untuk menghabiskan akhir pekan bersama. Sekedar ngopi dan nongkrong-nongkrong tidak jelas khas anak muda ibu kota, sekalian menikmati malam sabtuan sebelum kembali ke rumah masing-maisng.
Tepat setelah kami duduk di salah satu tempat ngopi terkenal, Nadia, si paling talkactive digrup kami langsung mengeluarkan sebuah topik yang akan menuai banyak komentar dari para pendengarnya. "Lo pada udah denger belum desas-desusnya?" dia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan dan berbisik pelan. Membuat kami yang duduk mengelilingi meja panjang harus mengikutinya agar tetap mendengar informasi terbaru yang dia bagikan.
Kami sudah seperti sekumpulan lalat yang mengerubungi sesuatu. "Soal mbak-mbak cantik yang nyamperin Pak Gama buat pulang bareng itu kan?" tanya Stephani yang terlihat sangat bersemangat dengan topik obrolan yang diangkat. Sementara kelompok cowok-cowok sedikit memundurkan diri, sepertinya tidak terlalu tertarik karena topik yang diobrolkan adalah gosip soal hubungan asmara seseorang.
Entah kenapa, aku tiba-tiba menjadi tidak bersemangat. Padahal ini bukan informasi baru, karena aku juga melihat sendiri wajah cantik wanita yang beberapa hari ini selalu pulang bersama Pak Gama.
"Wah, gimana nih Liv. Si bapak kayaknya udah gak avail lagi." Dengan sadisnya, Karina, salah satu teman magang yang paling dekat denganku membelokkan subjek pembicaraan. Padahal aku tidak melakukan apapun, tetap normal dan ikut menggosip bersama mereka.
"Kenapa jadi gue yang kena?" tanyaku dengan wajah tak terima. Memang benar belakangan Pak Gama sering menunjukkan perhatiannya padaku, bahkan di depan umum sekali pun. Tapi bukan berarti aku dan dia punya hubungan kan? hubungan kami tetap sama. Anak magang dan bos besar.
"Soalnya, lo itu kan, " dia menjeda kalimatnya. "He's so care with you. Kita kira kalian ada sesuatu sejak balik dari Bali itu." sahut Nadia menambahkan.
Sebenarnya aku tidak heran jika mereka berpandangan demikian. Sejak kepulanganku dari Bali dua minggu yang lalu, aku tidak bisa menampik fakta bahwa Pak Gama sedikit banyak mempelakukan ku berbeda dengan yang lain. Meski memang hanya aku anak magang yang bekerja langsung dengannya, tetap saja perhatiannya itu tidak bisa begitu saja di anggap wajar. Ya, walau tidak bisa juga disebut berlebihan hingga tidak masuk akal.
Dia sering kali memberiku makanan, entah karena alasan kebanyakan beli atau tidak sempat dia makan. Dia juga beberapa kali menawariku pulang bersama, entah hanya sekedar basa-basi atau karena kompleks rumah kami yang searah (untuk fakta ini orang lain tidak ada yang tahu). Dan bahkan dia sempat beberapa kali memintaku datang ke ruangannya, padahal tidak ada pekerjaan urgent yang harus aku laporkan langsung dengannya. Toh atasan langsungku sebenarnya Mas Shua, dan terdengar aneh jika seorang Menteri super sibuk sepertinya masih harus melihat sendiri hasil konten rutin yang di upload di media sosial.
Aku menarik napas pelan. Enggan terlihat aneh di depan teman-temanku yang kini sedang menatapku dengan penuh selidik. Jika boleh jujur, aku memang mulai baper dengan keadaan ini. Hanya saja, aku punya keyakinan bahwa dia hanya mencoba bersikap sebagai atasan yang baik agar hubungan kami tidak canggung. Apalagi sejak kejadian di Bali waktu itu, dia sepertinya merasa menciptakan kesalah pahaman denganku. Lagipula setelah aku amati, aku cukup sadar bahwa Pak Gama memang tipe yang baik ke semua orang. Meski tidak terlalu friendly, dia diam-diam memperhatikan orang-orang yang bekerja untuknya.
"Dia emang peduli ke gue, tapi bukan karena kaya yang lo pada pikirin." Aku memandang satu demi satu temanku. Bahkan teman cowok sekali pun, sebab mereka ternyata cukup tertarik dengan obrolan ini. "Kalian mungkin gak tau karena belum kerja langsung di bawah Bapak. Beliau ini emang orangnya baik, apalagi sama bocah kaya gue." Sebisa mungkin aku terlihat meyakinkan, entah untuk meyakinkan mereka atau meyakinkan diriku sendiri.
"Tapi ke gue gak gitu, tuh." Aku ingin mengucapkan sumpah serapah ketika Gabriel berujar seperti itu. Belakangan dia memang dimintai bantuan untuk membantu tugasku karena Mas Shua ada banyak hal yang lebih penting untuk dikerjakan. Tapi secara administratif dia tidak berada di divisi yang sama denganku. Bukankah aku tidak bisa mengatakan bahwa dia bekerja langsung di bawah Pak Menteri?
"Ya kan lo nggak pernah interaksi langsung sama bapak, Gab. Makanya beliau gak terlalu tau soal lo."
"Masa sih?" lagi-lagi jawabanku di bantah. Kali ini oleh Nadia, yang sialnya seperti disetujui oleh teman-temanku yang lain.
"Anjir-anjir. Ini lo pada ngga percaya ke gue?" kompak semuanya mengangguk. Bahkan Gabriel, Andovi, dan Krishna sekalipun.
"Eh, Liv. Lo emang gak baper sama kelakukan Pak Gama?" satu pertanyaan dari Andovi benar-benar membuatku mati kutu. Bagaimana ini aku menjawabnya?

KAMU SEDANG MEMBACA
Minis(try)
ChickLit"Akhirnya gue keterima magang, Bang!" Teriaku pada Bang Jeno, kakakku yang sampai sekarang belum bisa dibanggakan. Bang Jeno yang sedang bermain ponsel mendengkus, "Magang modal orang dalam aja bangga," "Ngakunya anti nepotisme, tapi mau magang aja...