Kejutan Pagi Hari

3.4K 277 0
                                    

Aku terbangun dengan tubuh yang lebih segar dibandingkan semalam.
Tidurku terasa sangat nyenyak. 

Setelah berhari-hari bekerja keras tanpa ada waktu untuk merasa lelah, karena bahkan libur weekend ku gunakan untuk menemani pacar kondangan dan ngedate, akhirnya aku bisa self klaim jika belum istirahat hampir sepuluh hari lamanya. 

Pantes semalem badan gue kaya mau remuk!

Aku tidak menyangka bahwa menjadi seorang fotografer di studio akan se melelahkan ini. Aku baru bekerja selama dua minggu, tetapi setiap harinya harus pergi ke lapangan. Entah untuk acara formal, informal, bahkan juga non formal. Membuatku yang pada dasarnya tidak suka dengan kegiatan outdoor menjadi sangat kelelahan karena banyaknya waktu yang menyita ku untuk tetap berada di luar. Lebih gampang jadi mahasiswa ternyata.

To be honest, aku tidak pernah terbayang akan bekerja kerasa seperti ini sepanjang hidup. Mungkin jika harus terus-terusan bekerja seperti itu, aku bisa mati muda karena kelelahan. Pantas saja Bang Jeno sering mengeluh ketika pulang dari kantornya.

Dengan mata yang masih setengah terpejam, aku meraba sisi tempat tidur yang ada dia sebelahku. Biasanya aku meletakkan ponselku di sana, sebab sudah terlalu malas untuk menaruhnya di meja.

Mataku sepenuhnya terbuka setelah layar di ponsel menyala. Mengecek pesan yang mungkin saja terlewat karena semalam aku ketiduran — maksudnya aku belum berniat tidur, tetapi mataku sudah terpejam sendiri.

"Lo hari ini langsung aja ya, Liv. Gak usah mampir studio." Pesan pertama yang aku baca berasal dari Mas Hans. Bosku yang mengatakan agar aku langsung ke lokasi pemotretan karena tempatnya yang berlawanan arah dengan studio fotonya.

Aku hanya bisa menghela napas. Lagi-lagi hari ini aku betugas di luar, yang berarti harus juga panas-panasan karena klien ingin pemotretan di luar ruangan. "Ini gak ada tugas yang di studio aja apa ya, Mas? gue capek ke luar mulu."

Enaknya bekerja di luar instansi adalah kita bisa bersikap santai. Meski tetap ada tingkatan sosial yang berbeda antara bos dan karyawan, tetap saja kami masih lebih fleksibel bila dibandingkan dengan aparatur sipil negara.  Selain itu, outfit yang kami kenakan juga cenderung bebas. Tidak seperti para idaman mertua yang sudah ditentukan seragamnya. Lalu yang paling menarik, jam kerja kami tentu tidak sepagi mereka. Bahkan jika ada tugas luar seperti ini, sebenarnya aku bisa curi-curi waktu untuk diri sendiri.

Suara notifikasi ponselku menyadarkan ku dari lamunan. Pesan balasan dari Mas Hans masuk, yang menanggapi perkataanku sebagai candaan. Tidak salah sih, tapi sebenernya gak seratus persen bercanda juga.

"Gue janji deh ini minggu terakhir." Tulisnya. "Gue juga belum bikin welcoming party buat kalian yee."

Saking terkenalnya studinya Mas Hans, anak baru memang sudah diberi tugas ke luar di hari ke duanya bekerja. Katanya sedang musim orang-orang suka mengabadikan setiap momen, jadi ada banyak klien baru yang datang. Kesibukannya pun membuatku mewajarkan bahwa perekrutan karyawan sedikit close req karena kebutuhan yang mendesak ini.

"Aman."

"Hari ini gue bareng siapa, Mas?" jika di luar, biasanya kami akan pergi dalam bentuk tim. Dan karena belum adanya tim yang tetap, dari kemarin teman kerjaku masih berganti-ganti.

"Hari ini sama gue, makanya lo ntar langsung ke lokasi aja."

"Gue berangkat dari studio, jadi ntar semua peralatannya gue bawain sekalian."

"Oke Bos, siap." Jawabku. Lalu menutup room chat kami dan beralih ke room chat yang sudah aku pin di bawah grup keluarga.

"Pagi juga, Mas." Aku membalas pesan dari Mas Gama. Hampir setiap pagi dia memang mengirim pesan sapaan selamat pagi, yang seringnya tidak dilanjutkan dengan obrolan karena pesan balasan dariku hanya berakhir di bacanya saja. Terus apa gunanya ngucapin selamat pagi coba?

"Hari ini Oliv ke lapangan lagi, Mas. Capek..." Keluhku.

Aku harus membuat topik agar dia membalas pesan. Meski sudah sering bersikap romantis, dia tetap saja cuek ketika berbalas pesan. Apalagi jika aku aku tidak mengkode ingin diperhatikan, dia hanya akan mengirimkan pesan untuk memberitahu kapan dia pulang.

"Semangat dong, kan masih pagi."

"Katanya mau jadi wanita karir." Aku memang selalu berambisi untuk menjadi independen woman. Namun itu dulu, saat aku belum tau bagaimana kerasnya dunia pekerjaan. Bekerja itu ternyata tidak semudah yang aku bayangkan.  Apalagi bekerja di bidang jasa yang mana harus berhubungan dengan orang, aku harus banyak-banyak sabar karena ada begitu banyak jenis manusia yang ada di dunia ini.

"Ternyata tidak mudah ya, Mas, menjadi wanita karir haha." Jawabku. Buktinya belum ada sebulan, aku sudah memikirkan opsi resign.

"Namanya kerja, pasti lelah dong."  Tumben sekali dia tidak cuek, dan bahkan fast respon. "Tapi kalau kerjaannya sesuai passion, paling gak lelahnya tetep bikin seneng kok."

Membaca pesan darinya, aku tersenyum. Benar apa yang dia katakan. Fisikku memang lelah, tetapi hatiku tetap senang ketika melakukan pekerjaan tersebut.

"Kamu nanti pulang jam berapa?"

"Belum tau, tapi kayanya cepet sih. Paling jam empatan." Mengambil gambar di luar yang banyak mengandalkan sinar matahari memang tidak bisa dilakukan sepanjang hari. Biasanya aku sudah selesai di jam tiga sore, dan bisa pulang setelah membereskan semua peralatan.

"Berangkatnya naik taksi aja ya? biar nanti Mas bisa jemput. Sekalian makan malem."

Intensitas hubunganku dan Mas Gama memang meningkat drastis. Apalagi setelah kelulusanku, dia menjadi lebih sering mengajakku ke luar. Seolah sudah tidak takut bahwa hubungan kami berdua nantinya terkuak ke permukaan.

"Mas gak capek? kalau mau ketemu langsung di lokasi juga gapapa kok. Nanti Oliv bawa mobil."

"No no. Mas mau jemput."

"Sekalian nanti kita ke main ke rumah. Katanya mama pengen ketemu kamu."

"Mau kan mampir ke rumah Mas?

Apanih? akhirnya gue mau dikenalin resmi ke orang tuanya kah?

Minis(try)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang