Sejak mencurigai Pak Gama ada ketertarikan denganku, aku mulai mencari cara untuk membuktikannya. Sikapnya yang berubah-ubah membuatku bingung, apakah sebenarnya dia memang menaruh perhatian lebih, atau memang sifat aslinya seperti itu.
Beberapa waktu ini aku mulai memikirkan cara. Bagaimana langkah yang harus ku ambil untuk membuktikan asumsi-asumsi yang ada di kepala, agar aku juga bisa mengambil sikap supaya kehidupan magangku beberapa bulan ke depan tetap baik-baik saja.
Well, sejujurnya sejak mengetahui jika Pak Gama berkemungkinan tertarik denganku, tidak bohong aku merasa sangat senang sekaligus bingung. Pada dasarnya aku memang menyukai pria tampan, apalagi jika ditambah dengan mapan dan juga terpandang. Bukankah akan sangat sulit menolak pesona pria semacam itu?
Apalagi untuk ukuran aku yang tidak terlalu banyak memiliki teman laki-laki, maka hadirnya Pak Gama bisa memberi angin segar. Meski sebenarnya ada teman magang dan Mas Shua yang tak kalah tampan. Astaga, Liv. Ternyata tempat magang lo jadi sarang cogan.
"Ini bukan untuk di dengar di anak kecil," Pak Gama berujar. Membuatku dan Mas Budi saling berpandangan, sebab tidak paham dengan maksud perkataannya.
"Itu podcast yang sedang kalian dengar tidak pantas di dengarkan anak kecil. Banyak omongan kasarnya." Aku dan Mas Budi semakin bingung dibuatnya. Memang ada anak kecil di dalam mobil ini? bukankah hanya ada kami bertiga?
"Tidak ada anak kecil yang mendengar, Pak. Ini juga tidak terlalu kasar. Hanya omongan anak muda ibu kota yang sudah umum," Mas Budi menjelaskan. Kami memang sedang mendengar salah satu podcast untuk menemani perjalanan menuju Pantai Pandawa, tetapi Bapak yang duduk di belakang dan terlihat sibuk dengan tab di tangan tiba-tiba memprotesnya.
"Oliv,"
"Hah?" aku menoleh ke belakang, Gerak refleks yang langsung aku lakukan ketika dia menyebut namaku. "Saya sudah hampir 23 tahun, Pak." Tentu saja aku tidak mau di sebut anak kecil. Toh umurku sudah lebih dari kepala dua, dan tentu saja aku sudah legal untuk disebut dewasa.
"Kamu belum lulus kuliah!" aku tidak bisa menjawab pernyataannya yang satu ini. Mas Budi yang sedang menyetir juga terlihat bingung, sepertinya juga tidak tahu harus menanggapi seperti apa bapak aneh yang satu ini.
Ada apa ini? apa benar Pak Gama suka gue? sampe gak mau gue denger podcast yang banyak ngomong anjing-anjingnya gini?
Lagian kenapa Mas Budi berani juga nyetel beginian pas ada Pak Gama?
"Ini podcast yang biasanya kok, Pak. Biasanya bapak malah yang suka nyaranin buat nyetel podcast ini." Mas Budi memang membantuku terlibat obrolan dengan Pak Gama. Tapi bukankah kalimatnya barusan terdengar tidak tepat? seperti memojokan laki-laki dewasa yang duduk di kursi penumpang?
Saat mendongak, aku malah menemukan sepasang matanya yang menyorot Mas Budi kesal. Sementara yang ditatap masih fokus menyetir, tanpa ada ketakutan sama sekali. Ini hubungan mereka PA sama atasan atau lebih dari itu ya? kenapa nggak ada takut-takutnya sama sekali.
"Saya nggak papa kok, Pak. Udah biasa juga."
"Udah biasa?" tanyanya seolah tidak percaya. Bahkan kali ini dia sudah menutup tabnya, tanda bahwa sudah mengalihkan fokus sepenuhnya kepadaku.
"Iya, Pak." Apa gue salah jawab lagi ini?
Dapat ku dengar Pak Gama menghela napas. "Jangan biasain nonton sesuatu yang nggak sesuai sama umur kamu. Nonton yang emang cocok buat anak kuliahan, Liv. Jangan yang kaya gitu-gitu."
"Apalagi yang ngomongnya gak bener, banyak kata-kata kasarnya."
"Tapi itu bintang tamu podcastnya bahkan belum dua puluh tahun, Pak." Aku memberitahu bahwa bintang tamu podcast yang kami dengarkan adalah salah satu aktor yang belum genap berumur dua puluh tahun. "Saya beneran gak papa kok, udah tau juga mana yang baik dan buruk."
Tiba-tiba channel yang sedari tadi kami debatkan sudah berubah. Beralih ke playlist lagu terbaru yang cukup familiar di kepalaku.
Siapa pelakunya? tentu saja Mas Budi. Sepertinya dia sudah enggan mendengarkan obrolanku dengan bapak yang satu ini.
"Udah diganti ini, udah nggak perlu diributkan lagi."
Aku menggigit bibir bawahku pelan. Bari sadar bahwa yang sedari tadi aku bantah perkataannya adalah atasanku sendiri. Bukan Bang Jeno yang bisa aku perlakukan semena-mena. Gila, berani bener lo, Liv!
Pelan-pelan aku memberanikan diri menoleh ke arahnya. Sembari meyakinan diri, aku mulai terpikirkan satu kalimat. Bukankah ini agak berlebihan bagi atasan sepertinya untuk peduli dengan tontonan bawahan sepertiku?
Tapi perdebatan kami barusan juga tak kalah berlebihan juga kan? malah seperti perdebatan seorang pasangan, bukan dengan big boss dan anak magangnya.
Ya ampun!
Kenapa pikiranku jadi kemana-mana gini, sih.
Kenapa Pak Gama selalu bikin gue kebingungan?KIira-kira si Bapak kenapa nih?
Apakah emang sengaja seterang-terangan ini?
![](https://img.wattpad.com/cover/341357869-288-k879620.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Minis(try)
Literatura Feminina"Akhirnya gue keterima magang, Bang!" Teriaku pada Bang Jeno, kakakku yang sampai sekarang belum bisa dibanggakan. Bang Jeno yang sedang bermain ponsel mendengkus, "Magang modal orang dalam aja bangga," "Ngakunya anti nepotisme, tapi mau magang aja...