Aku tidak pernah percaya akan adanya cinta pada pandangan pertama. Apalagi kepada seseorang yang tidak pernah ditemui sebelumnya.
Secara logika, aku pribadi kurang percaya bahwa seseorang bisa langsung tertarik — dan mengklaim bahwa dia mencintai seseorang hanya karena melihat sekilas. Cinta itu butuh waktu dan pengenalan, jadi sepertinya ungkapan cinta pada pandangan pertama tak pernah benar adanya. Namun jika sebatas ketertarikan karena penampilan fisik atau kesan pertama yang baik, itu mungkin masih lebih masuk akal. Ya, setidaknya menurut pendapatku.
Aku melemparkan bola ke dalam ring. Three point. Tepat seperti apa yang aku perkirakan.
"Gam!" Suara panggilan seseorang membuatku tak jadi mengambil bola basket yang terjatuh dari ring. Kepalaku langsung menoleh ke arah sisi lapangan, lalu berjalan ke arah sumber suara.
"Oy, Jen" sapaku sembari tos ala laki-laki pada umumnya.
Jeno Aditama adalah satu-satunya orang yang bisa aku sebut sebagai sahabat. Kami sudah kenal selama tiga tahun, dan selama itu pula kami sudah menjalin pertemanan.
"Cil, lo duduk di pinggir sana aja ya? gue mau main dulu bentar sama temen." Aku mengikuti arah pandang Jeno.
Pandanganku terkunci karena ternyata ada bocah kecil super manis di tengah-tengah kami. Kenapa dari tadi kaga sadar?
"Kan katanya tadi abang mau anter Oliv ke gramed, kenapa malah main basket." Jawabnya sembari mengerucutkan bibir. Pipinya yang tembem pun terlihat sangat menggemaskan. Membuatku gemas sendiri hingga ingin mencubitnya.
Kudengar Jeno berdecak, "Iya ntar gue anter. Tapi abis gue main."
"Tadi abang udah bilang kan kalo mau di anter harus sabar?"
"Nih pegangin tas abang," Jeno langsung memberikan tas kecilnya kepada bocah perempuan cantik ini. Lalu memegang ke dua bahunya, membalikkan tubuhnya, dan mengarahkannya agar menuju ke sisi lapangan. "Udah duduk manis di sana."
Meski sempat menghentakkan kakinya kesal, akhirnya orang yang sedari tadi menarik perhatianku mengikuti arahan Jeno. Berjalan pelan ke arah sisi lapangan, lalu meletakkan tas dan duduk di salah satu bangku yang memang disediakan untuk mereka yang menunggu orang yang sedang latian.
"Siapa?" tanyaku. Sebenarnya tak ingin bertanya, namun entah mengapa mulutku tiba-tiba saja sudah berbicara.
"Adek gue," jawab Jeno cuek. Dia bahkan langsung berlari ke tengah lapangan, meninggalkanku yang masih memiliki beberapa pertanyaan yang ingin ditanyakan.
***
"Lo abis ngapain?" aku yang sedang mendribble bola mengernyitkan alis.
"Tadi gue lihat lo duduk sebelahan sama adek gue,"
Aku meloncat dan memasukan bola ke dalam ring. Ini adalah permainan yang murni memang untuk main-main, jadi di tengah permainan pun kami masih sempat menyelipkan obrolan.
"Kasih minum. Gue liat adek lo kepanasan, kasian." Jawabku singkat.
"Tumben di ajak ke sini,"
"Kasian gak ada temen di rumah."
"Katanya mau beli buku, tapi gue gak tega kalo harus biarin dia pergi cuma sama sopir dan mbak," lanjutnya menambahkan.
Meski cuek, ternyata dia masih menyayangi adiknya. Buktinya dia tak mau adiknya pergi ditemani asisten rumah tangga saja, meski endingnya malah dibawa ke lapangan basket sebelum dituruti keinginannya.
"Berarti lo abis ini mau ke gramed?"
"Iya."
"Gue ikut ya?"
"Ngapain." tanyanya heran.
"Pengen ngerasain punya adik cewek," jawabku setengah bercanda. Lalu berlari menjauh karena berhasil merebut bola dari tangannya.
Versi full ada di KK 😊
Ini sneak peak

KAMU SEDANG MEMBACA
Minis(try)
ChickLit"Akhirnya gue keterima magang, Bang!" Teriaku pada Bang Jeno, kakakku yang sampai sekarang belum bisa dibanggakan. Bang Jeno yang sedang bermain ponsel mendengkus, "Magang modal orang dalam aja bangga," "Ngakunya anti nepotisme, tapi mau magang aja...