Aku tidak tahu harus menghabiskan waktu dengan melakukan apa. Orang yang ingin aku temui tidak tahu pulang jam berapa, sementara aku juga tidak bisa melakukan banyak hal di tempat baru yang baru pertama kali aku kunjungi.
Satu jam sebelum jam pulang kantor tadi, aku memang mendapatkan pesan balasan yang sudah aku tunggu. Pesan yang berisikan permintaan maaf karena baru sempat membalas, lalu keterangan mengenai alamat dan pin untuk masuk apartemennya.
Dan di sini lah aku sekarang. Di sebuah apartemen yang tidak terlalu besar, yang didominasi oleh warna abu-abu khas bujangan tua yang belum menikah. Astaghfirullah, berdosa banget lo, Liv!
Aku berkeliling untuk melihat-melihat. Meski memiliki akses yang lebih dari sekedar itu, aku tetap memilih hanya melihat-lihat pemandangan yang memang terlihat di depan mata, bukan yang hingga membuka-buka ruangan pribadinya. Aku hanya melihat seisi ruangan di bagian depan, lalu kemudian memilih duduk di sofa hingga tak sadar bahwa aku telah kehilangan kesadaran.
Kelopak mataku berkedip-kedip untuk menyesuaikan cahaya. Lalu setelah sepenuhnya sadar, aku langsung terduduk karena menyadari bahwa aku tidak sedang berada di rumahku sendiri.
Belum juga kesadaranku pulih, aku sudah dikagetkan dengan pemandangan yang ada di depan mata. Sosok Pak Gama yang sedang menggunakan kacamata dan membaca beberapa berkas terlihat serius, bahkan tak menyadari bahwa aku yang tidur dihadapannya ini telah terbangun.
Aku menyadari bahwa aku sudah menggunakan bantal dan selimut. Lalu tanganku mencoba mengucek-ucek mata untuk memastikan tak ada sisa kotoran yang tertinggal, sampai akhirnya aktivitasku itu membuat Pak Gama sadar bahwa aku telah bangun dari tidurku.
Pak Gama mencopot kacamatanya. Padahal dia terlihat dua kali lipat lebih tampan ketika menggunakannya. "Kamu sudah bangun?"
Aku hanya mengangguk, "Maaf ya, Pak. Saya malah ketiduran."
Seingetku aku hanya duduk dan bermain ponsel untuk membunuh kebosanan. Namun karena mungkin semalam baru bisa tidur menjelang pagi, aku jadi tertidur secara tidak sadar. Padahal biasanya, aku cukup hati-hati jika berada di tempat baru.
"Sebentar saya ambilkan minum." Belum sempat aku menolak, dia sudah beranjak. Pergerakannya begitu cepat, hingga aku tak sempat melakukan apapun.
"Terima kasih," ujarku setelah menerima segelas air putih darinya.
"Kamar mandinya di mana ya, Pak? saya mau numpang cuci muka," ujarku sebelum menyeruput pelan air minum di dalam gelas. Lalu ketika sudah mendapatkan informasi seputar di mana letak kamar mandi, aku segera beranjak untuk mencuci wajah. Memastikan bahwa penampilanku tidak terlalu buruk ketika nanti kami mengobrol perihal kejadian kemarin.
***
Aku tidak tahu berapa lama aku berada di dalam kamar mandi. Namun sepertinya cukup lama, sebab Pak Gama bahkan sudah selesai menata makanan di atas meja.
"Kamu belum makan, kan?" aku mengangguk. Lalu mengikuti instruksinya untuk duduk.
"Bapak masak atau beli?" tanyaku karena penasaran. Ada beberapa menu yang tersedia di atas meja, dan itu bukanlah menu yang cukup mudah untuk dibuat.
"Beli," aku mengangguk. Sesuai dugaan!
Saat ini aku terlihat seperti seorang anak yang sedang menunggu ayahnya menyiapkan makanan. Aku hanya duduk manis di kursiku, sementara Pak Gama terlihat sibuk dengan berbagai hal. "Jadi apa yang bapak bicarakan sama papa?"
Daripada hanya diam, aku memilih untuk melontarkan pertanyaan. Pertanyaan yang memang sangat penting, hingga aku mau untuk datang mengunjungi tempat tinggalnya.
"Kita makan dulu, baru nanti kalau mau mengobrol."
Sepertinya Pak Gama satu tipe dengan Pak Aditama. Enggan untuk makan sembari mengobrol, sehingga jika aku ingin bertanya maka harus menunggu waktu makan selesai.
Kami berdua menikmati makanan dengan saling diam. Rasanya sedikit aneh, karena di meja makan ini hanya ada kami berdua. Kok jadi kaya makan malam suami istri?
Otakku yang tidak waras mulai berpikir aneh. Bahkan aku tiba-tiba tertawa, hingga membuat laki-laki di hadapanku memicingkan mata.
"Saya nggak papa," belum ditanya aku sudah menjawab. Paham betul dari ekspresi wajah yang dia tunjukkan.
"Jadi gimana?" tanyaku setelah selesai mencuci piring. Pekerjaan yang aku lakukan setelah memenangkan perdebatan, karena sebelumnya Pak Gama tidak mengizinkan.
"Ayo pindah ke ruang tamu."
Aku berjalan mengikuti, lalu mendudukkan diri di sofa yang terpisah dari yang didudukinya. "Duduk sini," ujarnya sembari menepuk pelan sisi kanannya."
"Saya di sini saja, pak." Tolakku halus.
Namun saat melihat ekspresi wajahnya yang sepertinya tak ingin ditolak, aku malah berdiri dan berpindah ke arah yang memang di tunjuknya.
"Boleh saya tiduran di paha kamu?" dia benar-benar melemparkan serangan tanpa aba-aba. Aku hanya bisa diam, bahkan setelah permintaan izinnya dia lakukan tanpa persetujuan. Emang boleh semesra ini walaupun gak ada hubungan?
"Pak..." Jantungku sudah tidak karuan rasanya. Tapi di sisi yang lain, aku juga merasa nyaman dengan posisi kami sekarang.
"Sebentar saja, ya." Pintanya memohon.
Aku yang melihatnya pun merasa iba, lalu akhirnya mengangguk. "Bapak lagi banyak pekerjaan ya?"
"Hmmm," Seperti yang aku bilang sebelumnya, sampai saat ini kesibukan di kantor memang belum mereda. Dan dengan sifatnya yang ingin memastikan semua kegiatan berjalan sesuai keinginannya, maka aku yakin bahwa sedari kemarin dia pasti berkeliling-keliling untuk memastikan semua berjalan sesuai koridornya.
Emang boleh se pekerja keras ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Minis(try)
ChickLit"Akhirnya gue keterima magang, Bang!" Teriaku pada Bang Jeno, kakakku yang sampai sekarang belum bisa dibanggakan. Bang Jeno yang sedang bermain ponsel mendengkus, "Magang modal orang dalam aja bangga," "Ngakunya anti nepotisme, tapi mau magang aja...