Hari Sabtu adalah hari yang paling tepat untuk bermalas-malasan. Rebahan seharian di kamar, sembari menonton Netflix dan menikmati camilan.
Namun karena sudah punya pacar, tentu saja weekend terbaik dalam versiku sebelumnya, sudah aku geser. Terganti oleh mengunjungi Mas Pacar di apartemennya, lalu bermalas-malasan juga — tetapi berdua dengannya. Hidup mana lagi yang seperti ini?
Aku melangkah ke luar dari lift dengan perasaan yang ringan. Membayangkan beberapa aktivitas yang bisa kami lakukan berdua selama aku tinggal di kediamannya, atau bagaimana wajah terkejutnya karena aku tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan seperti biasa-biasanya.
Aku menekan bel di depan apartemennya. Meski mengetahui PIN-nya, kali ini aku memilih untuk tidak langsung masuk. Bersikap seperti seorang tamu, yang menunggu si tuan rumah untuk membukakan pintu dan mempersilahkan masuk.
Aku langsung melemparkan diriku ke dalam pelukannya. Tepat ketika wajah tampannya terlihat di balik pintu, dengan pakaian santai khas rumahan. "Kangen banget, Mas." Ujarku. Pasalnya kami sudah beberapa hari tidak bertemu, bahkan di kantor sekalipun.
Tubuh Mas Gama terasa tegang. Padahal ini bukan skin ship pertama kami. Hanya sebuah pelukan, harusnya sudah sangat biasa dibandingkan apa yang sudah pernah kami lakukan sebelumnya. "Hari ini Netflix an sambil cuddle yuk." Lanjutku tanpa peduli dengan ekspresinya. Sebuah hal yang akan aku sangat sesali beberapa menit setelahnya.
"Aku punya beberapa film rekomendasi loh, Mas." Aku masih saja nyerocos tanpa memedulikan sekitar. Aku masih belum sadar bahwasanya, tidak hanya kami berdua yang ada di ruangan ini.
"Lepas dulu, ya..." dengan pelan, dia memintaku untuk melepaskan kedua tanganku dari lehernya. Membuatku mengerucutkan bibir, sebab merasa bahwa dia tak suka lagi aku peluk.
"Kenapa? mas udah gak suka sama Oliv?" pagi-pagi, mood ku malah memburuk.
"Bukan gitu," ujar Mas Gama pelan.
"Terus?" tanyaku masih tak mau melanjutkan. Namun sebelum dia memberikan jawaban, suara seseorang langsung berhasil menjauhkan darinya.
"Astaghfirullah, dek."
Mataku melotot sempurna. "Abang ...."
"Sejak kapan di situ?" aku terlalu kaget dengan keberadaannya. Dilihat dari penampilannya yang santai, sepertinya orang ini menginap di sini semalam. Jadi dia lihat apa yang aku lakuin barusan kah?
***
Aku duduk tidak nyaman di sofa. Tanganku sudah cukup berkeringat, apalagi orang di hadapanku kami tak kunjung juga mengatakan sepatah kata apa pun.
Mas Gama juga sama sepertiku. Bedanya dia terlihat tenang, tak gugup seperti yang aku rasakan.
"Apa yang mau kalian jelaskan?" aku bersumpah ini tidak seperti Bang Jeno yang aku kenal. Biasanya dia tidak seserius ini, apalagi jika berbicara denganku. "Kamu ...." dia menunjuk ke arahku. "Siapa yang ngajarin kaya gitu?"
Jantungku sudah tidak karuan. Sebagai seseorang yang selalu memberikan petuah-petuah soal hubungan asmara, aku tahu bahwa Bang Jeno merasa kecewa. Dia pasti tidak menyangka bahwa adik semata wayangnya ini, terlalu berani pada seorang laki-laki.
"Ini bukan salah Oliv, Jen." Mengetahui bahwa aku ketakutan, Mas Gama mencoba mengambil alih situasi. Namun secepat kilat, Bang Jeno langsung memberikan instruksi bahwa yang sedang dia ajak berbicara adalah aku.
"Gue nanya adek gue, lo diam aja."
Dengan takut-takut, aku akhirnya mendongakkan kepala. "Maafin Oliv, bang." Cicitku pelan.
"Maaf buat apa?" suaranya terkesan dingin. Tidak seperti Jenoandra yang sering kali membuatku kesal.
"Maaf karena Oliv nggak ngikutin omongan abang,"
"Omongan yang mana?" tanyanya menantang.
"Jen,"
"Diem atau gue aduin hubungan kalian ke mama papa." Ancamnya — bahkan ketika Mas Gama baru mengatakan sepatah kata.
"Maaf karena Oliv gak bilang kalau Oliv sama Mas Gama sekarang udah pacaran." Sudah kepalang tanggung, aku memilih mengaku. Toh melihat kegilaanku yang tadi, dia juga tidak akan percaya jika aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan temannya.
Bang Jeno menghela napas, "Sudah berapa lama?" tanyanya.
"Belum lama kok,"
"Sebulanan," aku tau kalau Mas Gama ingin sekali membantuku. Namun di sisi lain, dia tidak berada di situasi yang menguntungkan. Jika dia membantu, maka Bang Jeno mungkin akan lebih marah dari apa yang kami kira.
"Udah ngapain aja?" tanyanya sewot.
Aku melotot ke arahnya. "Maksud abang apa?" jawabku tak terima. Memangnya aku ini perempuan apa?
Bang Jeno tertawa. Tapi ini bukan tawa bahagia, tetapi tawa mengejek ketika dia sedang merendahkan orang lain.
Aku sakit hati. Tentu saja. Tapi aku juga menyadari bahwa aku salah, jadi sebisa mungkin aku mencoba memahami apa yang dia rasakan.
"Kami gak pernah ngelakuin hal-hal yang di luar batas," bukan aku yang mengatakan, tetapi Mas Gama. Sepertinya dia sudah sangat kasian denganku, yang mendapatkana tatapan intimidasi dari abang kandungku sendiri.
Bang Jeno menunduk, lalu memijit pelan ujung pelipisnya. Sepertinya dia masih belum bisa terima dengan apa yang sudah aku lakukan. Namun juga merasa bersalah karena telah melemparkan pertanyaan yang menyakitkan padaku. "Kamu, bisa pergi ke kamar dulu?" aku dibuat kaget dengannya.
"Abang mau ngobrol empat mata sama orang tidak tau diri ini," dia melirik sinis ke arah Mas Gama. Namun yang dilirik tak menunjukkan ekspresi apa-apa, tetap terlihat cool seperti biasanya.
"Tapi bang," aku mencoba protes. Namun genggaman tangan yang tiba-tiba membuatku sadar. Bahwa aku, harus percaya dengan Mas Gama.
Aku menoleh ke arah Mas Gama. Menemukan dia yang mengangguk, mengisyaratkan agar aku mengikuti apa yang diminta oleh abangku ini.
Ini nggak bakal kejadian pukul-pukulan part 2 kan?

KAMU SEDANG MEMBACA
Minis(try)
ChickLit"Akhirnya gue keterima magang, Bang!" Teriaku pada Bang Jeno, kakakku yang sampai sekarang belum bisa dibanggakan. Bang Jeno yang sedang bermain ponsel mendengkus, "Magang modal orang dalam aja bangga," "Ngakunya anti nepotisme, tapi mau magang aja...