Deep Talk

6.9K 404 9
                                    

"Mas udah di depan ya," terlihat notif sebuah pesan muncul di layar. Aku yang sedang asyik menscrol tiktok langsung mengkliknya, hingga layar kecil di telapak tanganku berubah ke ruang chat di antara aku dan juga Mas Gama.

"Ok, Mas." Aku berdiri dari ranjang. "Wait, ya. Oliv turun." Aku mengambil sling bag yang sudah aku siapkan di atas ranjang, lalu berjalan menuju kaca yang memang sudah terpasang apik di dekat meja belajar. Tidak lupa meraih remot AC dan mematikannya, lalu memoleskan kembali liptint karena merasa sudah tidak terlalu terlihat.

Sudah memegang kenop pintu, aku kembali lagi ke depan kaca. Aku lupa melakukan satu hal terakhir untuk menyempurnakan penampilan, yaitu menyemprotkan minyak wangi di seluruh badan. "Perfect,"

Tok tok.
Aku mengetuk kaca mobil yang super gelap ini. Kali ini Mas Gama menggunakan mobil dengan kaca film full, membuat orang yang di luar tidak bisa melihat apa yang sedang terjadi di dalam. "Maaf ya, lama." Ujarku ketika layar kacanya menurun.

Mas Gama tersenyum mengiyakan. Senyum yang langsung membuat hati ku lemah, sebab dia terlihat sangat tampan — meski wajah lelah akibat baru selesai bekerjanya masih berbekas di sana.

Mas Gama turun dari mobil, lalu membukakan pintu yang ada di sebelah. Waduh, act of service sekali! "Hati-hati." Dia melindungi kepalaku. Padahal perkara masuk mobil bukan lah hal yang sulit, jadi aku sangat menghargai effort nya itu.

"Udah nunggu lama, Mas?" aku bertanya sembari sibuk memasangkan seatbelt. Hal yang sama pun juga sedang dilakukan oleh orang yang duduk di balik kursi kemudi.

"Belum," jawabnya singkat.

"Tumben sendiri," tanyaku kembali. Pasalnya Jakarta Bogor terbilang jauh, dan sebagai orang penting yang punya banyak bawahan, dia malah memilih untuk menyetir sendiri.

"Nggak mau ada yang ganggu. Kan kita mau quality time berdua," aku tidak menyangka bahwa jawaban itu yang akan keluar dari mulutnya. Sepertinya memang sudah tidak ada lagi Mas Gama yang sok cool dan tidak banyak bicara. Yang tersisa hanya seorang Gama Pradikta, yang sedang bucin dengan seorang Olivia Aditama.

"Kan kalau kamu bawa supir pun, Mas, kita masih bisa berduaan di kursi belakang." Meski blushing, aku tetap tidak boleh terlihat salah tingkah. Aku tidak boleh gampangan, apalagi belum ada lima menit sejak kami bertemu.

"Kan lebih enak gini, sambil gandengan dan night drive berdua." Dia mengatakan hal tersebut sembari meraih salah satu telapak tanganku. Tentu saja, jadinya kami berakhir dengan bergandengan tangan. OMG, belajar bucin dari mana sih bapak yang satu ini?

"Udah lama kan kita gak pernah pergi berdua kaya gini," aku mengangguk atas pernyataannya. Memang benar bahwa sudah sangat lama sejak terakhir kami menghabiskan waktu berdua di luar.

Kebanyakan janji kami memang menghabiskan waktu di apartemennya, apalagi beberapa hari ini setelah aku dapat jadwal sidang. Dia selalu siap 24/7 untuk membantuku latian, juga tanya jawab tentang beberapa topik yang kemungkinan besar akan ditanyakan.

"Kamu tau gak, Mas, kalau tiap kali gandengan aku masih merasa super deg-degan. Boleh nggak sih minta cium sekalian biar makin deg-degan?" sepertinya aku sudah tidak waras. Mas Gama sampai menoleh ke arahku dan terlihat terkejut. Bisa-bisanya aku yang polos ini meminta di cium, apalagi kami berdua sedang berada di dalam mobil.

Satu detik, Mas Gama malah tertawa. "Mentang-mentang udah lulus, sekarang udah berani ya godain, Mas." Dia mencolek hidungku gemas. Pasti tidak menyangka bahwa bocil sepertiku malah meminta ciuman dari seorang laki-laki dewasa sepertinya. "Nggak boleh bercanda, sayang. Nanti kalau Mas kabulkan beneran gimana?"

Minis(try)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang